Nationalgeographic.co.id—Sudah 76 tahun berlalu sejak dijatuhkannya bom atom di Kota Hiroshima, Jepang. Peristiwa di tanggal 6 Agustus 1945 itu masih teringat jelas dalam ingatan, Yoshiko Kajimoto. Dia merupakan salah satu Hibakusha atau korban selamat dari bom atom.
Yoshiko Kajimoto membagikan kisahnya dalam pembukaan War and Peace: The atomic bombing of Hiroshima and Nagasaki, sebuah pameran dari Hiroshima Peace Memorial Museum yang dibuka Mei lalu. Dilansir dari sea museum, Yoshiko Kajimoto mengungkapkan saat kejadian dirinya masih berusia 14 tahun.
Dia bersama teman-teman sekelasnya sedang merakit bagian baling-baling untuk pesawat terbang. Jarak Yoshiko yang masih kelas tiga sekolah menengah pertama dengan hiposenter hanyalah 2,3 kilometer.
"Tiba-tiba, cahaya biru menyala terlihat di jendela. 'Kita dibom!' Saya pikir pabrik runtuh, mengubur kami di bawahnya. Saya kehilangan kesadaran," kata Yoshiko Kajimoto kepada sea museum.
Saat tersadar, Yoshiko mendapati dirinya terperangkap di bawah reruntuhan balok dan genteng. Dia mencoba merangkak sekuat tenaga untuk keluar.
"Darah mengucur dari luka di tulang keringku. Lengan kananku tertusuk pecahan kaca dan berdarah," tuturnya.
Yoshiko yang berhasil keluar kemudian mendapati bahwa setiap bangunan di daerah itu roboh. Tercium bau seperti ikan busuk di udara. Keadaan teman-teman sekelasnya pun memprihatinkan, mereka menderita luka parah, beberapa bahkan tidak bisa berdiri.
Ketika api mulai berkobar Yoshiko dan teman-temannya membantu yang tidak bisa berjalan dan melarikan diri. Sepanjang jalan mereka mendapati orang-orang yang tubuhnya terbakar, sehingga tidak bisa dibedakan lagi mana laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Paul Warfield Tibbets Jr, Pilot Pesawat Pengebom Hiroshima yang Tak Pernah Menyesal dengan Aksinya
Yoshiko menggambarkan situasi saat itu seperti pemandangan dari neraka. Keadaan tidak seketika membaik keesokan harinya. Mayat yang mulai membusuk, belatung berkembang biak, dan orang yang tampak seperti tentara mengkremasi mayat-mayat itu.
"Asap putih mengepul di mana-mana di sekitar kota, Hiroshima adalah krematorium. Bau daging manusia yang terbakar menempel di tubuh dan pakaian kami – kami tidak bisa menghilangkannya," kenang Yoshiko.
"Tiga hari kemudian, saya bertemu ayah saya. Dia sedang membalik mayat, mencari saya. Ada rasa bahagia. Namun, karena radiasi tingkat tinggi yang dia serap selama pencarian, satu setengah tahun kemudian, dia muntah darah dan meninggal," lanjutnya.
Terkait dengan kondisi dirinya sendiri pada saat itu, Yoshiko menuturkan ketika kembali ke rumah ia mengalami demam tinggi dan gusinya berdarah. Sebanyak tujuh potong kaca diambil dari lengannya. Ia berhasil melewati itu semua.
Baca Juga: 75 Tahun Berlalu, Bagaimana Kronologi Serangan Bom Atom di Hiroshima?
"Pada tahun 1999, dua pertiga perut saya harus diangkat karena tumor ganas. Banyak teman sekelas saya meninggal karena kanker. Bahkan 76 tahun kemudian, kanker dan leukemia yang disebabkan oleh paparan radiasi masih menghantui para penyintas," ungkapnya.
Sementara itu, ibu dari Yoshiko juga mengalami A-bomb-related disorder selama 20 tahun sebelum akhirnya meninggal dunia. Dari pengalamannya ini, Yoshiko mengatakan bahwa tidak bisa dibiarkan senjata nuklir yang berbahaya ada di dunia ini.
Dia tidak ingin anak-anak atau siapaun mengalami penderitaan yang pernah dirasakan. Berdasarkan data dari Atomic Archive, jumlah korban dari bom Hiroshima sendiri mencapai 135.000 orang. Yoshiko Kajimoto juga meminta kepada setiap pemimpin negara untuk datang ke Hiroshima, Jepang, dan mendengarkan kisah dari hibakusha.
"Apakah Anda, kemudian, akan terus bersikeras bahwa senjata nuklir diperlukan? Kekuatan satu orang mungkin sedikit, tetapi dengan kekuatan kolektif semua orang yang mencari perdamaian, didukung oleh semangat hibakusha yang telah meninggal, saya tahu kita dapat menyingkirkan senjata nuklir dari dunia ini. Betapapun kecilnya kontribusi saya, selama saya bisa, saya akan terus menceritakannya," pungkasnya.
Baca Juga: Tulang Rahang Korban Bom Hiroshima Ungkap Paparan Radiasi yang Tinggi