Masyarakat adat di sekitar hutan tidak pernah mengalami konflik dengan perusahaan pemanfaat jasa hutan. Mereka hanya bermasalah dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan itu. Sebab, masyarakat ini merasa hak tanah mereka dari leluhur, digunakan demi kepentingan pihak lain.
"Hanya saja, wajah yang terlihat dari birokrasi pemberi izin adalah si perusahaan. Maka itu yang tampak adalah konflik warga dengan perusahaan," demikian ujar Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam peluncuran buku "Menjaga Hutan Kita: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut," di Jakarta, Senin (1/10).
Ditambahkan Abdon, izin pemanfaatan hutan yang ada sekarang merupakan warisan dari zaman Orde Baru. Sebelum adanya kerja sama dengan Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), masyarakat adat belum pernah dilibatkan dalam pengeluaran izin tersebut.
"Baru lima tahun belakangan ini masyarakat dilibatkan. Sebelumnya tidak ada," ujar Abdon lagi.
Hutan memiliki fungsi penting bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sumber penghidupan, makanan, obat-obatan, bahan bangunan, bahkan serat pakaian. Menggunakan kearifan lokal, ratusan kelompok masyarakat adat telah hidup dengan mengelola hutan dan sumber alam di wilayah adat masing-masing.
Saat masuk kegiatan alih guna lahan, pembalakan liar, dan kebakaran, hutan Indonesia mulai rusak. Kementerian Kehutanan mencatat, laju deforestasi di Indonesia berkisar antara 1,17 juta hektare per tahun pada era 1990-2010.
"Solusinya adalah check and balance dengan mekanisme berkomunikasi menggunakan LSM. Karena LSM-LSM inilah yang bisa berkomunikasi dengan masyarakat adat," ujar Hadi Daryanto, Sekjen Kemenhut.
Pro-Kontra Moratorium Hutan dan Gambut
Kondisi hutan dan lahan gambut di Indonesia melahirkan timbulnya Inpres No.10/2011. Inpres ini berisi mengenai penundaan proses perizinan baru selama dua tahun terhadap hutan primer dan lahan gambut. Tujuannya untuk pemanfaatan hutan lestari. Namun, Instruksi Presiden ini pun akhirnya menimbulkan pro-kontra.
Mereka yang pro salah satunya adalah WWF-Indonesia. Melalui Direktur Eksekutifnya, Efransjah, moratorium ini dianggap jadi landasan kuat menuju perekonomian yang rendah karbon. Sedangkan mereka yang kontra termasuk para pengusaha dan LSM.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (CSF) bahkan sempat mengeluarkan kritik tajam pada 7 Juni 2010. Salah satu pernyataannya mengkritik Inpres tersebut jauh dari niat baik karena Pemerintah Indonesia cenderung melindungi kepentingan pengusaha saja.