9 Oktober 1740, Pembantaian Warga Cina di Batavia dan Aspek Politiknya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 9 Oktober 2012 | 08:00 WIB
Stadhuis atau Balai Kota Batavia dibangun pada 1710, kini digunakan sebagai Museum Sejarah Jakarta. Halaman belakangnya telah menjadi ladang penyembelihan dalam tragedi pembantaian warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurut Mona Lohanda, pemerhati sejarah peranakan Cina dan penulis buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, kerusuhan 1740 meluas hingga ke Jawa. Bahwa tragedi orang-orang Cina bukan hanya berdampak kepada kehidupan di Batavia, tetapi juga berakibat pada ketidakstabilan politik di Kasultanan Mataram.

Bagaimana peristiwa itu meluas hingga ke Jawa? Dampak tragedi Oktober 1740, telah membuat Kasultanan Banten bersiaga dengan tiga ribu prajuritnya untuk menghadang orang-orang Cina yang melarikan diri dari Batavia.

Baca Juga: Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang

Suasana kerusuhan di tepian Kalibesar. Tampak serdadu VOC bersiaga di depan Balai Kota Batavia (A). uplikan dalam litografi Jakob van der Schley (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. (Rijksmuseum Amsterdam)

Gagal memasuki Banten, para pelarian itu bergerak ke timur. Sejumlah seribu orang bertemu di pantai sisi utara Pati, kota kecil di Jawa Tengah. Akhirnya, sebagai tindakan balasan, mereka bergabung dengan komunitas Cina asal Semarang dan mengepung benteng VOC di kota itu. Tak hanya itu, mereka juga menyerang pertahanan VOC di Rembang, sebuah benteng pinggir pantai. Tampaknya, inilah perlawanan terhebat dan terheroik orang-orang Cina kepada VOC dalam sejarah  peranakan Indonesia yang terlupakan.

Jikalau Raja Kartasura, Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan pemberontakan orang-orang Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin saja VOC bisa hengkang dari Jawa Tengah. Namun, sang raja tampaknya menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil menguasai keadaan dengan campur tangan dalam urusan kerajaan. Meskipun konspirasi Cina-Jawa dalam “Geger Pacinan” dapat dipatahkan VOC, perseteruan keluarga itu baru berakhir pada 1755 dengan terbaginya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.  Usai tragedi kebiadaban itu, tidak ada warga Cina yang kembali ke Batavia. Lalu, VOC memberikan izin tinggal bagi orang-orang Cina di sebelah selatan tembok kota, daerah ladang tebu dan berawa milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali. Kelak, pecinan baru itu dikenal dengan sebutan mirip nama belakang bekas pemiliknya: Glodok. 

Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743