Baca Juga: Sains Memaafkan, Belajar Memberi Maaf Baik bagi Fisik dan Mental
“Dimulai dari diri sendiri sebelum kita berusaha untuk care terhadap orang lain. Kenali dulu karakter diri kita ini siapa? Apakah kita ini seorang yang pencemas, meluap-luap, atau menghindar. Kemudian, kelola stres,” katanya.
Menurut dr Erickson, proses mengenali diri sendiri menjadi hal yang paling utama karena setiap orang memiliki sumber (trigger) stres masing-masing. Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat mengidentifikasi trigger tersebut dan menyadari setiap emosi yang muncul. Setelah itu, cara mengelola stres dengan yang efektif dan sesuai dapat ditemukan.
“Setiap orang punya sumber stres berbeda-beda. Dengan begitu, masing-masing orang akan punya cara pengelolaan yang juga berbeda-beda,” tambah dr Erickson.
Selain itu, ia juga menyampaikan pentingnya memberi jeda dalam mengonsumsi informasi terkait Covid-19. Ia menyarankan, masyarakat untuk mengonsumsi informasi mengenai Covid-19 pada saat-saat tertentu saja.
Selain itu, mengalokasikan waktu untuk diri sendiri atau “me time” dan menjaga komunikasi dengan teman-teman atau kerabat juga diperlukan.
Baca Juga: Skizofrenia Faktor Risiko Tertinggi Kedua Kematian akibat COVID-19
“Tetap pertahankan sosialisasi dengan orang lain. Pembatatasan kegiatan sosial tidak berarti komunikasi terputus. Bersosialisasi tetap dapat dilakukan tanpa tatap muka langsung. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, yakni melalui panggilan telepon atau menggunakan aplikasi untuk berkomunikasi dengan orang lain,” katanya.
Terkait sosialisasi, Rhaka Ghanisatria mengatakan, berkomunikasi dan berbagi cerita dapat mengurangi beban emosi.
Hal itu ia buktikan lewat platform digital Menjadi Manusia yang ia rintis. Platform tersebut menghadirkan media untuk menyalurkan kegelisahan dengan cara berbagi cerita.
Rhaka mengatakan, selama menggawangi platform Menjadi Manusia ia sudah melihat bagaimana berbagi cerita dapat menjadi bentuk tolong-menolong.
“Ketika berbagi cerita, kita melepaskan beban yang kita punya dan bisa menjadi coping mechanism. Namun, cerita kita juga bisa menjadi inspirasi buat orang lain dan menyelamatkan mereka. Orang lain yang membaca cerita tersebut akan merasa terhubung, merasa dikuatkan karena sadar bahwa dia tidak sendirian,” katanya.