Pada hari Senin tanggal 26 Februari 1894, Anton Willem Nieuwenhuis dan sejumlah rekannya mulai bertolak dari Semitau untuk menyusuri Sungai Mandai hingga ke bagian hulu. Kelak, penjajakan itu dikenang sebagai ekspedisi Nieuwenhuis yang pertama dari tiga usahanya yang melegenda untuk mencapai Mahakam. Beberapa hari kemudian ia mencapai suatu tempat yang menjadi lokasi cerita ini: Nanga Raun.
Sementara salah seorang anggota ekspedisi yakni G. A. F Molengraaff melakukan survei geologi, Nieuwenhuis dan Johann Buttikofer, kurator Museum Nasional untuk Sejarah Alam (Leiden), menetap cukup lama di Nanga Raun. Sekitar dua bulan lamanya—Maret hingga Mei 1894—para penjelajah barat itu hidup bersama sambil mempelajari kehidupan komunitas Dayak Ulu Air (subetnis dari Ot Danum). Komunitas ini menyebut diri mereka sendiri sebagai Orung Da’an.
Terdapat satu bagian yang sangat menarik dari catatan Nieuwenhuis. Dokter medis yang juga seorang peneliti antropologi ragawi dan etnografi tersebut menulis, selama di Nanga Raun, ia dan Buttikofer tinggal di rumah panjang milik masyarakat Orung Da’an. Rumah panjang itu, menurutnya, adalah yang terpanjang di seluruh Kalimantan bagian barat.
Pada masa sekarang, rumah panjang yang terpanjang diketahui berada di tepi Uluk Palin, milik komunitas Tamambaloh. Sedangkan rumah panjang yang lebih panjang dari itu seperti dicatat oleh Nieuwenhuis, milik komunitas Orung Da’an, tak lagi dapat ditemukan. Sebabnya diceritakan oleh seorang lelaki yang sekarang berumur 74 tahun, Daniel Mikael Rajang (Radjang).
“Rumah panjang kami habis terbakar. Lebih tepatnya sengaja dibakar,” kata Rajang pada suatu siang yang terik di dalam gubuk panggung mungil di ladang miliknya yang berjarak sekitar lima menit berjalan kaki dari tepi Sungai Mandai.
Rajang adalah mantan tumenggung (pemimpin secara adat dan tradisi) komunitas Orung Da’an yang belum lama mengundurkan diri setelah 44 tahun menjabat.
Ia adalah satu dari dua tumenggung Orung Da’an selama seratus tahun terakhir. Tak tersisa lagi kesedihan di raut wajahnya mengingat peristiwa itu sudah lama sekali terjadi, pada tahun 1964.
“Waktu itu saya sedang bekerja di ladang, tidak mengajar karena hari libur. Anak-anak juga pergi ke ladang. Saya sedang menugal padi dan saat itu sekitar pukul sembilan pagi. Tiba-tiba terdengar suara gong ditabuh berkali-kali dari arah rumah panjang, tanda bahaya.” Pak Rajang yang saat itu menjadi guru sekolah dasar segera berlari pulang sekencang-kencangnya. Hatinya penuh kecemasan. Setengah jam kemudian ia tiba, terperangah menyaksikan api sedang berkobar hebat.
“Saya berhasil menyelamatkan lima keluarga,” kisahnya sambil menerawang. “Pada sekitar pukul 11 siang, rumah kami sudah habis terbakar.” Rupanya, seorang penghuni rumah panjang yang sedang marah kepada keluarga dari pihak istrinya mengamuk dan membakar satu bilik di rumah panjang. Tentu saja, api menjalar ke kiri dan ke kanan bilik tersebut, menghanguskan keseluruhan rumah panjang yang berbahan kayu. Orang itu lari ke dalam hutan namun dikejar dan 2-3 hari setelah rumah terbakar, ia dibunuh oleh tujuh orang dari komunitasnya sendiri. Ketujuh orang itu lantas ditahan di Sintang.
Rumah panjang tersebut telah berusia ratusan tahun, menurut Rajang. Setelah terbakar, komunitas Orung Daan tidak lagi membangun yang baru.
Tiap-tiap keluarga berusaha membangun rumah masing-masing secara terpisah, kira-kira seperti yang tampak di Nanga Raun saat ini. Rajang menggambarkan dengan pasti: “Rumah kami dulu itu kira-kira seperti milik komunitas Tamambaloh di Uluk Palin yang masih berdiri sekarang.
Tinggi, tiang-tiangnya dari kayu belian. Bedanya, rumah Uluk Palin memanjang lurus sedangkan rumah kami agak melingkar. Ada ada 60 bilik besar di dalamnya, dihuni 60 KK. Bilik keluarga saya bernomor 20, kira-kira berada agak di tengah.”
Rumah panjang Uluk Palin terdiri dari 50 bilik (dahulu 60 bilik) dengan total panjang saat ini lebih dari 200 meter lebih sedikit. Artinya, rumah panjang milik komunitas Orung Da’an yang telah musnah itu lebih panjang lagi, dengan ukuran tiap-tiap bilik yang lebih luas.
Berselang beberapa tahun setelah kebakaran, Pak Rajang diangkat sebagai tumenggung. “Usia saya saat itu 26 tahun,” kenangnya. “Menurut camat, saat itu saya adalah tumenggung termuda di Kapuas Hulu.” Sampai hari ini, tegas Rajang, ”Kalau soal adat, kami masih utuh.”
Puluhan tradisi memang masih dijalankan oleh komunitas Orung Da’an hingga hari ini. Beberapa tiang sandung (tiang kayu yang diukir berbentuk manusia, simbol dari orang yang sudah meninggal) juga masih berdiri hingga sekarang, tak jauh dari bekas lokasi rumah panjang.
Bagaimanapun, rumah komunal yang merupakan pemersatu, tempat bersosialisasi dan menjalankan adat-tradisi, sekaligus sebagai bukti dan simbol peradaban Orung Da’an, telah lama musnah.
Seolah tak rela masa lalu milik komunitasnya dilupakan, Rajang perlahan mengganti topik. Ia menatap ke luar gubuk. Katanya, selain tradisi, masih ada hal-hal lain yang bisa dilihat dan akan terus mereka jaga.
Pasti, lebih dari seratus tahun lalu Nieuwenhuis juga melihat semuanya dari Nanga Raun: Sungai Mandai, hutan, Bukit Liang Gagang, Bukit Amayambit, serta Bukit Tilung yang dipercaya oleh banyak komunitas Dayak sebagai jalan bagi orang-orang meninggal untuk mencapai dunia lain.