Pelestari Ikon Sulawesi Tengah

By , Minggu, 30 Desember 2012 | 11:40 WIB
()

Hari itu kedua kandang itu kosong. Namun, saat musim telur 2012 lalu sangkar itu memuat empat ratus telur dan riuh dengan lengkingan anak-anak maleo.

Begitu akrabnya, Mansur kerap dianggap sebagai induk oleh anak-anak maleo. “Tahu saya datang, semua teriak-teriak. Saat saya masuk sangkar, mengerubuti dan naik ke punggung,” terang Mansur kalem.

Di dalam sangkar piaraan itu, Mansur menebar buah kemiri—makanan kesukaan maleo. “Anak maleo itu pandai, bisa belajar memecah kemiri. Patukannya keras, thak, thak… dibanting-banting.”

Usai dipelihara, generasi masa depan burung maskot Sulawesi Tengah itu dilepas, menghiasi alam Pinjan Tanjung Matop. Kecintaan Mansur kepada burung persis ayam itu sebanding dengan jalinan kasih sepasang maleo. Tak terpisahkan.

Suleman menunjukkan catatan harian telur yang ditetaskan saban hari. Dari April sampai Juli 2012 saja, ada 486 telur yang dikubur di penetasan. Yang berhasil menjadi menetas berjumlah 421 telur. Yang batal: 65. Catatan Suleman begitu rapi. Ini sejenis buku harian bagi maleo Pinjan Tanjung Matop.

Pengabdian tanpa akhir itu membuat Mansur meraih Kalpataru pada 2004, pada zaman Presiden Megawati Sukarnoputri. Ratusan anak maleo telah dilahirkan dari kerja keras Mansur dan kawan-kawannya.

Ikhtiar Mansur dan para sukarelawan itu bakal menjamin kelestarian burung yang menempati genus tunggal Macrocheplon, dengan satu jenis: Macrocephalon maleo, dengan satu tempat hidup: Sulawesi. Jika dia punah dari pulau ini, dia juga raib dari muka Bumi.

Saat puncak musim telur Agustus lalu, bersamaan dengan bulan puasa, Tamrin dan kawan-kawan saban hari mengunjungi kawasan konservasi seluas  1.612,5 hektare ini. “Berangkat setelah sahur. Pagi-pagi sudah di pantai,” terang Suleman yang menjadi sukarelawan Suaka Margasatwa.

Pantai kawasan konservasi ini mesti ditempuh selama dua jam jalan kaki dari Desa Pinjan. Menyusuri pinggir pantai yang berkelok-kelok, menembus tebing-tebing bergerigi. Jarak tempuh menjadi berlipat-lipat. Dengan perahu, hanya perlu waktu lima belas menit.

Perjalanan menuju Suaka Margasatwa bukannya tanpa risiko. Melintasi tebing-tebing dengan bebatuan yang menggantung rapuh, kepala bisa saja tertimpa batu. “Pernah seorang kawan pingsan tertimpa batu. Cuma kerikil segini…,” kenang Mansur sembari menunjukkan ibu jarinya. Ketika cuaca sedang tak ramah, Mansur kerap menginap di gubuk ringkih dan berdinding papan reyot. “Bisa tiga hari di sana. Tidak ada sinyal to….”

Mansur berharap pengetahuannya bisa ditularkan kepada sukarelawan Suaka Masrgasatwa: Suleman, Hendra dan Kivlan. Para sukarelawan muda itu kerap mengiringi Mansur ke lapangan, menyesap pengetahuannya. “Baru dimulai tahun 2012 ini,” tutur Mansur, “biar tahu mencari telur dan menetaskan.