Nationalgeographic.co.id—Sebuah surat yang ditemukan dalam arsip H.M. de Kock telah mengutip pernyataan Dipanagara. Kutipan dalam bahasa Jawa yang patut kita renungkan itu bermakna: “Jangan menjelekkan orang baik, dan jangan membaikkan orang jahat, dan jangan aniaya terhadap orang banyak.”
Nama kecilnya Bendoro Raden Mas Mustahar. Dia lahir tatkala fajar menjelang di lingkungan Kraton Yogyakarta pada Jumat Wage, 11 November 1785. Lahir dari rahim seorang Ratu Kedaton keturunan bangsawan Madura. Ayahnya merupakan anak sulung Sultan Hamengkubuwana II. Kelak ayahnya melanjutkan takhta sebagai sultan berikutnya di Yogyakarta.
Dalam penanggalan Jawa, kelahiran seseorang yang bertepatan pada bulan Sura itu dianggap mempunyai makna keramat. Pun, dalam primbon Jawa, hari itu merupakan penanda bahwa kelak sang bayi mempunyai kata-kata yang berpengaruh, berwatak pandita, tetapi menghadapi aneka halangan hidup lantaran sikapnya yang suka berterus terang.
Tampaknya, kelahiran Mustahar yang kelak ketika dewasa bernama Dipanagara itu telah diramalkan masyarakat sebagai seorang pendobrak akhir tatanan lama di Jawa. Kenyataan itu dipaparkan dalam buku biografi tentang Dipanagara yang ditulis selama 30 tahun oleh Peter Carey, sejarawan dari Oxford University, berjudul Kuasa Ramalan.
Keadaan akhir tatanan lama yang dimaksud adalah munculnya imperealisme baru yang memengaruhi kedaulatan kraton yang bermula sejak Daendels bertugas pada awal abad ke-19 di Jawa. Kraton tak lagi dipandang sebagai institusi berdaulat lantaran banyak nilai-nilai yang meluntur.
Betapa penguasa Eropa turut campur tangan dalam kehidupan istana dan pemilihan raja, penyalahgunaan kekuasaan, aneka pajak yang mencekik rakyat, hingga perselingkuhan putri-putri keraton dengan pejabat-pejabat Eropa.
Perang Jawa yang mulai bergelora pada 20 Juli1825 dicetuskan oleh Dipanagara atas memburuknya tatanan ekonomi dan sosial masyarakat Jawa. Dia memberontak untuk merebut kekuasaan politik Sultan Yogyakarta dengan tujuan memulihkan kebesaran Jawa dan menegakkan Islam sebagai tatanan moral.
Perang ini berkonsep perang sabil atau perang suci melawan semua orang kafir dan orang asing di Tanah Jawa. Dalam pemberontakan ini, Dipanagara telah dipandang sebagai penyatu kelas bangsawan dan rakyat jelata. Tentu, tidak semua bangsawan mendukungnya lantaran pemberontakan ini merupakan kelanjutan perang antar kelompok feodal pada masyarakat Jawa abad ke-19.
Menurut Saleh As’ad Djamhari, seorang pengamat sejarah militer, untuk pertama kalinya militer Belanda menghadapi sistem tempur militer Jawa yang terorganisasi rapi. Dipanagara mengadopsi struktur militer Kerajaan Turki Osmani yang menjadi ideologi berbagai kerajaan Islam di Indonesia.
Perang Jawa merupakan awal diterapkannya strategi militer baru yang unik dan bekaitan dengan aspek sosial, politik, sosial, dan kultural. Sebuah seni perang yang belum pernah diterapkan bagi kedua pihak dalam perang kolonial manapun.
“Belanda kewalahan secara militer,” ungkap Djamhari. “Sudah lelah.” Dalam sebuah studinya, Djamhari telah menghitung setidaknya terdapat 258 benteng yang dibangun Belanda dalam waktu dua tahun untuk memadamkan kobaran Perang Jawa itu.
Pertahanan itu dikenal dengan istilah stelsel benteng (1827-1830) yang merupakan segenap strategi dan aktivitas militer Belanda untuk membantu Sultan menumpas para pemberontak, sekaligus memusnahkan penghalang ekspansi kolonialisme.
Tentang sebuah peristiwa di Karesidenan Magelang pada 8 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Jawa, Djamhari berkata, “Dipanagara tidak tertangkap, tetapi terperangkap. Itu istilah sebenarnya.”
Dia menambahkan bahwa Dipanagara mengunjungi Hendrik Merkus De Kock untuk beraudiensi pada hari raya Idul Fitri. Tidak ada perundingan. Namun, pihak Belanda sudah menyiapkan untuk menangkapnya. “Kesalahan Dipanagara adalah mengandalkan kebaikan hati orang Jawa.”
Perang itu memang telah menimbulkan penderitaan dan keletihan luar biasa di kedua pihak. Sebanyak dua juta penduduk Jawa menderita akibat perang, seperempat seluruh luas pertanian rusak berat, dan sekitar 200 ribu orang Jawa menjadi korban. Sementara itu di pihak Belanda menelan kegetiran: sejumlah 7.000 orang Indonesia yang merupakan serdadu pembantu tewas bersama 8.000 serdadu Belanda.
Belakangan perang itu juga telah membangkrutkan kas pemerintah kolonial sehingga untuk memulihkannya perlu penerapan Cultuurstelsel (sejarawan Indonesia menyebutnya dengan tanam paksa) di Jawa pada 1830-1870. Namun, di daerah kerajaan Tanah Jawa tidak terjamah tanam paksa. “Belanda tidak melakukan tanam paksa di daerah Vorstenlanden,” ujar Djamhari. “Belanda sudah kapok.”
Demikianlah akhir Perang Jawa. Setelah peristiwa penjebakan di Karesidenan Magelang, Dipanagara dan pengikutnya dibawa ke Fort Ontmoeting di Ungaran. Kemudian, mereka berlayar lewat pelabuhan Semarang menuju Sunda Kelapa, Batavia. Setelah menjadi tahanan Balai Kota Batavia, lalu menuju pengasingannya di Fort Amsterdam di Manado. Pada 1834 dia dipindahkan ke Kastil Rotterdam di Makassar.
Perang itu juga telah melahirkan tatanan baru. Peter Carey dalam bukunya menjelaskan, bahwa Perang Jawa mengakhiri sistem ketika hubungan Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa masih bersifat diplomatik, menuju ke tatanan baru masa kolonial kala kerajaan-kerajaan itu tunduk pada kekuasaan Eropa.
Lalu, apakah Dipanagara ini seorang pemberontak atau pahlawan? “Dia adalah pahlawan” ungkap Djamhari, “karena pada dasarnya melawan Belanda.”