Oleh karena itu, Hubert bersama koleganya di University of Calgary mulai menginvestigasinya. Tim yang terdiri dari empat orang ini melakukan penelitian di pesisir Laut Labrador yang suhunya mendekati titik beku air. Laut ini terletak di pesisir timur Kanada, dan berbatasan dengan Pulau Greenland.
Dipilihnya Laut Labrador sebagai lokasi penelitian didasari oleh berbagai alasan. "Aktivitas industri, perkapalan, dan tambang minyak lepas pantai di daerah perairan dingin ini semakin meningkat," kata Hubert. Meningkatnya kegiatan ini membawa risiko kebocoran minyak yang sangat tinggi. Belum lagi dengan lokasi Laut Labrador yang terpencil dan dipenuhi bongkahan es, sehingga sulit dijangkau oleh kapal biasa dalam keadaan darurat.
Tidak hanya ekosistem Labrador saja yang terancam. Kebocoran minyak di laut Labrador juga akan berdampak pada kehidupan suku Nunatsiavut, orang asli setempat yang bergantung pada laut Labrador untuk mencari ikan.
"Dari penelitian ini, kami berharap akan adanya respons alami dari populasi mikroorganisme di Laut Labrador," jelas Hubert kepada CTVNews.ca. Baginya, penelitian ini akan membantu peneliti untuk membuat pendekatan lebih baik dalam manajemen bencana kebocoran minyak di perairan dingin.
Baca Juga: Riwayat Industri Hulu Minyak Indonesia: Dari BPM Sampai Permina
Hasil penelitian ini kemudian dipublikasikan di situs American Society for Microbiology pada 11 Agustus 2021. Dalam penelitian tersebut, para peneliti menyimulasikan pembersihan kebocoran minyak dalam sejumlah botol. Mereka mengisi botol tersebut dengan tanah berisi bakteri dari dasar laut, yang dicampur minyak atau diesel sebagai kontaminan. Campuran ini kemudian ditambah dengan nutrien yang jumlahnya bervariasi di setiap botolnya. Eksperimen tersebut dilakukan dalam suhu 4 derajat celsius, sesuai dengan temperatur Laut Labrador.
Setelah simulasi tersebut, para peneliti mencoba melihat hasilnya melalui sekuens genom. Dengan metode tersebut, para peneliti berhasil melihat potensi berbagai bakteri untuk mengurai minyak bumi di daerah dingin. Bakteri-bakteri ini berasal dari tiga genus, yakni Paraperlucidibaca, Cycloclasticus, dan Zhongshania. Selain itu, peneliti juga menemukan kemampuan bakteri dari genus Oleispira dan Thalassolituus dalam mengurai diesel.
"Penelitian ini juga menemukan bahwa memberi nutrisi kepada bakteri ini dapat mempercepat kemampuan mereka untuk mengurai hidrokarbon di temperatur yang rendah," kata Hubert dalam rilis persnya. Nutrisi yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor, yang menjadi "vitamin" penambah nafsu makan dari para bakteri ini.
Keberadaan bakteri ini tentunya menjadi kabar baik dalam mengantisipasi bencana kebocoran minyak. Namun, kemampuan alam dalam menyembuhkan dirinya tetaplah terbatas. Pertanggungjawaban manusia tetaplah dibutuhkan untuk mengelola lingkungan dan melakukan pencegahan supaya bencana ini tidak terus berulang.
Baca Juga: Tumpahan Minyak Ancam Laut Merah, Apa Bahaya yang Akan Terjadi?