Selidik Majapahit: Apakah Benar Metropolitan Majapahit Tidak Berkanal?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 13 Maret 2013 | 14:00 WIB
Kolam Segaran. Dalam bahasa Jawa, segaran berarti laut buatan. Bangunan air tinggalan masa Majapahit ini berkaitan dengan sistem jaringan kanal, sebuah teknologi adaptasi warga Majapahit terhadap kondisi alam dan musim. Luas kolam ini sekitar enam kali lapangan sepak bola. Meskipun sangat monumental, Rakawi Prapanca tidak menyebutkan salah satu bangunan air nan megah ini dalam karya pujasastranya, Nagarakertagama. (Mahandis Y Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—“Kesimpulan adanya jaringan kanal di daerah Trowulan tidak mantap,” kata Guru Besar Arkeologi Agus Aris Munandar lalu diam sesaat. “Hemat saya.” Pernyataan tersebut disampaikannya dalam pemaparan hasil penelitiannya di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kamis (7/3). “Agaknya tesis lama tentang kemungkinan adanya kanal itu bisa ditinjau kembali.”

Awalnya memang dunia arkeologi Indonesia tidak pernah digegerkan tentang kanal-kanal Majapahit di Trowulan sampai adanya foto udara pada 1973 dan beberapa tahun sesudahnya. Kajian terhadap foto udara itu memperlihatkan jalur-jalur saling berpotongan dan tegak lurus, seluas empat kilometer kali lima kilometer.

Sekitar 30 tahun silam, Karina Arifin meneliti tentang jalur-jalur tersebut untuk skripsinya. Kajian foto udara dan endapan dasar kanal, yang semula diduga sebagai jalan raya oleh Maclaine Pont pada 1924, telah ditafsirkan ulang sebagai kanal-kanal tinggalan Majapahit. Deskripsi tentang kanal-kanal itu juga terekam dalam Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan 1983-85. Anggapan tentang keberadaan kanal itu masih berlaku hingga sekarang.

Menurut Munandar jalur-jalur rendah yang diinterprertasikan sebagai kanal-kanal itu sesungguhnya merupakan lahan permukiman. “Jalur-jalur rendah itu berkaitan dengan bekas jalur permukiman penduduk golongan rakyat jelata Majapahit,” ungkapnya. “Selain sebagai permukiman juga digunakan sebagai jalan dalam kota.”

Di pelataran Gapura Wringin Lawang, Hasan Djafar menjelaskan tentang sebaran situs Majapahit. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Jika Majapahit runtuh pada awal abad ke-16, endapan dalam jalur-jalur rendah bekas permukiman jelata itu sudah berlangsung selama lima abad. Dengan demikian, Munandar berpendapat, tidak salah kiranya kalau muncul dugaan kanal-kanal yang berisi air dengan berbagai fungsinya di Kota Majapahit.

Pendapatnya itu berdasarkan tidak adanya deskripsi kanal di sumber-sumber tertulis masa Majapahit seperti Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, atau karya lain dari kronologi berbeda yang berbicara tentang Majapahit. Selain itu, dirinya juga tidak menemui penggambaran kanal pada relief candi sezaman.Dia juga menawarkan kemungkinan konsep Triloka (Triangga, dalam masyarakat Bali)—yang diturunkan dari lapisan alam hinduisme—pada bentang alam situs Majapahit. Pertama, lahan permukiman untuk rakyat jelata tergolong pada konsep Bhurloka (nista, paling rendah). Kedua, lahan permukiman untuk kaum bangsawan, pejabat berada pada Bhuwarloka (madya). Ketiga, lahan persemayaman raja Majapahit yang diibaratkan dewa yang menjelma ke dunia berada dalam tataran Swarloka (uttama).

Temuan arkeolog sebelumnya membuktikan adanya kanal di metropolitan Majapahit. Pemandangan tata kota Majapahit dengan jaringan kanalnya. Jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan, panjangnya bisa mencapai 26 kilometer. Sementara, luas inti kota kuno ini mencapai 4 kilometer x 5 kilometer. (Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Kawasan nista, menurut Munandar, merupakan lahan yang digali memanjang dan lebih rendah dari tanah sekitarnya sebagai permukiman untuk rakyat kebanyakan. Rumah-rumah dibangun dari bahan yang cepat lapuk, sehingga tidak bisa dijumpai pada masa kini. “Lahan permukiman yang memanjang inilah yang salah ditafsirkan sebagai kanal di Kota Majapahit.”

Sementara lahan datar yang letaknya lebih tinggi daripada permukiman memanjang tadi merupakan kawasan madya. dan dihuni oleh penduduk majapahit yang mampu mendirikan permukiman berpagar dinding bata tinggi. “Penggalian bertahun-tahun selama ini hanya dilakukan di tataran madya,” ujarnya.

Munandar melanjutkan, lahan yang membukit kecil di area selatan Trowulan,  yang merupakan daerah Kedaton dan situs Sumur Upas, adalah kawasan uttama. Sejauh ini berdasarkan temuan ragam hias pada unsur bangunan, sebagian ahli arkeologi menduga di tempat inilah berdiri istana Majapahit.

Guru Besar Mundardjito, ahli arkeologi senior yang selama 30 tahun lebih telah menyelisik hamparan tanah tinggalan Majapahit di Trowulan, menanggapi paparan tersebut. “Itu tadi adalah hipotesis,” ujarnya. “Semuanya harus dibuktikan di lapangan!”