Rudi Hadiansyah Putra merupakan seorang pemberantas perkebunan ilegal dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Setidaknya sampai Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) dibubarkan pada Oktober 2012.
Keputusan itu membuatnya sakit hati. Meskipun, Rudi mengaku tidak akan berhenti patroli, kegiatan yang dilakukan dalam memperjuangkan kelestarian alam Aceh terutama Leuser.
Melalui Peraturan Gubernur No. 52/2006, BPKEL telah ditugasi kewenangan pengelolaan KEL yang selama ini ada dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Ia yang sekarang menjabat Ketua Forum Karyawan BPKEL, bersama kawan-kawan lainnya tetap konsisten dengan upaya konservasi.
BPKEL dibentuk sejak 2007, mulai efektif beroperasi sejak 2009, dan terbilang sukses. Pencapaian BPKEL misalnya saja dengan berhasil membebaskan kembali 24 perkebunan seluas sekitar 10.000 hektare, serta mencegah perburuan satwa-satwa dilindungi.
"Leuser adalah harapan terakhir untuk konservasi satwa," jelas Rudi. Keberlangsungan kawasan penyangga pula biodiversitas yang luar biasa di dalamnya ini tengah menghadapi ancaman.
Saat ditemui di Jakarta, pertengahan Maret lalu, ia menyatakan penolakan masyarakat Tamiang terhadap rancangan terbaru peraturan tata ruang Aceh yang saat ini sudah memasuki tahap penyelesaian segera disahkan pemerintah.
Penolakan didasari dua faktor. Pertama, ada indikasi peraturan baru ini sarat korupsi dan kedua, akan mengubah bentang alam dan memberlakukan alih fungsi hutan cagar alam menjadi area penggunaan lain (APL).
Padahal KEL merupakan salah satu yang terpenting bagi Aceh dan Sumatera Utara. Jasa ekologis kawasan ini ditaksir bernilai USD600 juta per tahunnya. Beberapa fungsi lingkungan yang nyata yaitu seperti pencegah banjir dan erosi, penyuplai air untuk pertanian, industri, kebutuhan sehari-hari masyarakat.
"RTRW Aceh harus direvisi, kalau tidak sama saja tidak menyelamatkan [kehidupan] masyarakat Aceh," tukas Rudi yang pernah meneliti Kajian Habitat dan Populasi Badak Sumatra di Kappi, KEL ini.
Tekad
Banjir bandang di tahun 2006 silam membuka matanya untuk peduli lebih aktif terhadap lingkungan. "Saya selalu ingat akan banjir besar itu. Transportasi lumpuh, ketebalan lumpur hingga selutut," kenang pria kelahiran Seruway, Februari 1977 tersebut.
Area hutan di Tamiang bagian hulu dan hilir sampai sekarang pun masih hancur. Rudi menunjukkan suatu foto yang memperlihatkan kerusakan DAS Tamiang di bagian hulu. "Ada puluhan titik kerusakaan seperti ini. Sebelumnya sungai tidak selebar ini, tetapi karena longsor material batu menutupi badan sungai dan sungai menjadi lebar dan keruh," tuturnya.
Pada awal tahun ini, Rudi dianugerahi Future for Nature Award, sebuah penghargaan bagi orang-orang muda yang berjuang untuk penyelamatan fauna. Rudi terpilih menerima penghargaan khususnya bagi upaya penyelamatan gajah, harimau, dan badak sumatra.
"Bagi mereka, mereka memilih saya karena punya ambisi dan motivasi. Itu penilaian mereka," katanya menyajahajakan.
Ia sempat membawa juga persolan KEL ke tengah forum internasional ini, dan menurut Rudi, "Mereka sangat senang karena Leuser harapan terakhir, tetapi sekaligus sangat prihatin dengan kondisi Leuser yang populasi satwanya menurun."
Kini, dengan para pemodal alias pengusaha pemilik perkebunan dan pemburu bersiap masuk lagi ke wilayah tersebut, bertambah bahaya yang mengintai ekosistem dan satwa Leuser. Inilah yang tak akan dibiarkan oleh Rudi. Ia tidak dan bertekad takkan pernah absen menjaga Leuser.
"Kami bekerja seperti biasa. Patroli tidak ditinggalkan. Walau, sumber dananya kini terbatas. Dana dihimpun swadaya, mudah-mudahan di bulan depan kita sudah ada funding tetap yang cukup untuk beberapa waktu. Atau kalau tidak, kita akan cari [pendanaan] lagi dan lagi."