Kenapa Makam Memiliki Tumbuhan Unik dari Bunga hingga Pohonnya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 17 Agustus 2021 | 11:00 WIB
Bunga kamboja (Plumeria) kerap ditemukan di areal pemakaman karena warna dan aromanya yang mencolok. Meski demikian, tanaman ini berasal dari kawasan tropis Amerika Latin, dan sejatinya digunakan untuk ritual adat masyarakat Nusantara. (Anton Ardyanto/Wikimedia)

 

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda mengamati ketika berziarah atau mengikuti prosesi pemakaman, Anda menjumpai banyak tanaman unik di makam? Apakah aroma tanaman itu memiliki ciri khas daripada tanaman yang berada di luar permakaman?

Permakaman sangat khas dengan tanaman uniknya. Beberapa ada yang berukuran besar seperti pohon beringin, yang selalu identik dengan nuansa horor--khususnya bagi masyarakat di Pulau Jawa. Sedangkan yang berukuran kecil adalah tanaman bunga yang menebarkan semerbak wangi yang terkesan keramat.

Sejatinya, kebudayaan menempatkan tanaman khusus sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di Nusantara, seperti bunga kamboja (Plumeria), kantil (Magnolia), dan andong (Cordyline).

Muhammad Rifqi Hariri, ahli botani dari MaknaKata, memaparkan dalam diskusi daring Jenis-Jenis Tumbuhan pada Makam Keramat di Jawa. Menurutnya kebiasaan menanam bunga beraroma diperkirakan dilakukan sejak zaman Kesultanan Islam berkembang di Nusantara.

Lantaran pada masa Hindu-Buddha, kematian tidak dilakukan dengan pengebumian, melainkan melalui pembakaran seperti ngaben. Tradisi ini dapat dibuktikan hingga saat ini di Bali, sebagai contohnya.

Pemakaian bunga ini memang sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Nusantara yang terekam lewat relief di Candi Penataran dan Borobudur.

Regina Yofani dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menerangkan keberadaan bunga itu lewat skripsinya: Beragam Tanaman di Relief Candi di Jawa Timur Abad 14 Masehi (2010). Bunga banyak diletakkan di beberapa tempat ibadah suci yang juga masih bisa ditemukan di Bali dan Tengger.

Baca Juga: Fenomena Siklon Tropis di Indonesia, Kenapa Dinamakan Bunga dan Buah?

Candi Penataran ini memiliki relief yang diyakini adalah pohon kamboja. Figur didekatnya diyakini adalah Hanoman, tokoh dari kisah Ramayana. (Panji T.B/Wikimedia)

"Di sana (Bali) sih banyak ditanam kamboja yang putih dan kemerahan," ujar Hariri. "Tidak hanya jadi tanaman hias tapi juga tanaman di Pura, bahkan di beberapa patung pun ditanamkan bunga Plumeria."

Hani Ristiawan alumni mahasiswa kehutanan Institut Pertanian Bogor, dalam forum yang sama bercerita tentang pengalamannya mengamati berbagai jenis tanaman di area pemakaman, dan membuat ilustrasinya sejak Juni lalu.

"Ternyata jumlah spesiesnya lebih 160-an, selebih dari itu saja belum saya eksplorasi lebih. Semenjak saya masuk kehutanan, itu saya sering mengamati tanaman di kuburan tua," papar Hani.

"Bisa jadi masyarakat kita dulu ini sudah punya kearifan untuk membagi ruang dengan sekitarnya. Jadi jelas mana yang diperuntukkan untuk pemukiman, ladang, dan pemakaman dengan tanam-tanaman itu."

Baca Juga: Kota Jakarta Memiliki Permakaman Umum Modern Tertua Sejagat

 

Itu bisa dibuktikan, selain peletakan makam, masyarakat Nusantara memiliki pemahaman tata ruang yang diyakini berdasarkan filosofinya. Hani menerangkan, pelokasian tempat-tempat penting oleh masyarakat tradisional bahkan terekam dalam berbagai peta masa kolonialisme Belanda.

Pada makam sendiri, kuburan lokasinya dibagi dan biasanya berada di bukit atau tanah yang menjorok yang semakin ke atas, semakin suci seseorang dikuburkan.

Kamboja adalah yang sering ditemukan di pemakaman kini. Tak hanya Indonesia, beberapa kebudayaan di Asia Tenggara memiliki mitos tentang bunga itu. Misalnya, di Vietnam bunga kamboja adalah representasi dari kematian. Di Thailand bunga itu diberi nama lantom yang tidak boleh ditanam di halaman rumah, dan hanya menjadi tanaman pemakaman.

"Itu karena spelling-nya mirip rantom yang dalam bahasa Thailand berarti keputusasaan. Jadi sangat diusahakan tidak ditanam di halaman rumah untuk menghindari keputusasaan oleh orang-orang di dalam rumahnya," Hariri menambahkan.

Baca Juga: Fenomena Perubahan Iklim: Bunga-bunga Bermekaran di Puncak Gunung

Bunga cempaka (Magnolia champaca) sejatinya adalah bunga yang sering dipakai untuk ritual masyarakat Nusantara selain bunga kamboja. (Pixabay)

"Walau sekarang, anggapan jelek itu sudah terkikis dan dijadikan sebagai pewangi, sajen, dan digunakan untuk festival tahun baru Thailand."

"Kamboja itu filosofinya banyak banget. Di Filipina dan Indonesia dipercaya sebagai kehadiran makhluk halus."

Sejatinya, bunga kamboja sendiri bukanlah tanaman asli Nusantara, melainkan dari kawasan tropis di Amerika Latin. Hariri memaparkan, bunga kamboja ini ada hubungannya dengan penemuan Christopher Colombus menemukan Amerika.

Salah satu awaknya adalah kakek dari Charles Plumier. Sang kakek mengklaim menemukan aroma bunga saat di laut lepas, sehingga memudahkan Colombus menemukan benua baru itu. Sebaliknya ke Eropa, sang kakek membuat parfum dari aroma ini secara sintetis, meski belum mengetahui bunga apa itu.

Bunga itu baru ditemukan oleh Charles Plumier (1646 – 1704), sebagai bunga yang belum diidentifikasikan, tetapi beraroma mirip dengan parfum buatan kakeknya. Kemudian tanaman ini ditaksonomikan oleh ahli botani Swedia Carl Linnaeus (1707-1778).

"Saya di sini menerka saja, ya, kalau dirunut Lineaus sebenarnya tidak begitu langsung menyebarkan Plumeria ke India, dan penggunaan tanaman ini dalam membuat sesajen dalam ritual-ritual yang bisa ditemukan, dan umumnya beraroma kuat," jelas Hariri.

Baca Juga: Wisata Permakaman Bayi Kambira, Jenazah Bayi Yang Dikubur di Pohon

Kemudian dari India, Linneaus menemukan tumbuhan ini juga bisa tumbuh di Champa (Vietnam dan Kamboja kini) dan Siam (Thailand). Hal ini berpengaruh pada penggunaan bunga untuk ritual di Asia Tenggara yang seharusnya menggunakan Magnolia, dan berubah menjadi bunga kamboja.

Pengaruh ini terbawa pula dalam ritual di Bali. "Tapi ada gap di sini antara Lennaus dengan masa Hindu-Buddha," tambahnya.

Selain bunga kamboja, makam biasanya memiliki pohon cempaka dan beringin yang perawakannya besar, serta tanaman andong dan puring. Hani menjelaskan, ada nilai kesakralan yang diberikan masyarakat akan tanaman besar yang terasa menyejukkan, dan aroma yang mencolok pada bunga.

"Kalau andong sendiri itu kan populer sebagai pembatas kebun. Selain itu jurnal yang saya baca juga kepercayaan di Baduy, andong itu atau Kordiline untuk menjadi salah satu upacara adat dimakna bahwa warna yang gelap dan terang itu melambangkan sebagai kehidupan dua dunia," papar Hani.

Baca Juga: Triantha occidentalis, Nama Temuan Tanaman Karnivora Terbaru

Tanaman Puring atau Croton memiliki warna yang mencolok dan kontras. Dalam kebudayaan Nusantara menjadikannya sebagai tanda batas tanah, hingga batas dengan dunia roh. (Plantas)

"Dan menurut saya, bisa jadi puring dan tanaman-tanaman lainnya yang kontras itu di kuburan memiliki makna yang mirip, cuma untuk artikel atau penelitian saya belum menemukannya, Karena jurnal untuk nilai soal kesakralan dan etnobotani itu susah dicari."

Hariri menambahkan penjelasan Hani, bahwa tanaman andong dalam kebudayaan di Jawa menggunakannya sebagai pembatas roh halus. Penamaan 'andong' sendiri berasal dari asung pandungo (senantiasa berdoa) agar setiap orang yang berkunjung ke makam senantiasa bersyukur atas kehidupan yang diberikan Tuhan.

"Di sini kalau ditanam di rumah, seolah untuk menghalau roh-roh yang menggangu. Ini alasan kenapa ditanam di rumah, ya benar untuk mengingatkan agar kita berdoa, selalu ingat setelah hidup ada mati," jelasnya.

Dia juga sependapat dengan Hani bahwa penelitian tentang nilai sosial dan kesaskralan dalam tradisi masihlah minim. Untuk itu, mereka mengajak untuk semua pihak mulai membuka jendela penelitian baru terkait antrobotani dan etnobotani.

Baca Juga: Para Peneliti Akhirnya Berhasil Menanam Tumbuhan di Luar Angkasa