Pahlawan Bulutangkis Tanpa Piala

By , Senin, 29 April 2013 | 15:55 WIB
()

Kampung itu terlihat sepi. Tak banyak warga yang bisa di temui di jalan. Hanya ada satu dua orang dan anak-anak kecil yang bermain di muka gang yang sempit. Tapi di balik tembok-tembok beberapa rumah warga Kelurahan Bale Arjo Sari, Kecamatan Blimbing - Kota Malang, kaum ibunya sibuk bekerja memasang senar-senar raket bulutangkis atau pun membuat shuttlecock.

Kampung itu sudah lama dikenal sebagai kampung pembuat shuttlecock dan raket bulutangkis. Kaum ibu di sana menerima pekerjaan dari juragan raket atau shuttlecock. Para juragan mendapat permintaan dari toko alat olahraga atau dari pihak lain yang membutuhkan.

Biasanya raket dan shuttlecock yang dikerjakan kaum ibu di sana kosongan atau tanpa diberi label merek apapun. Setelah diterima pemesannya barulah kemudian diberi merek tertentu. Ibu Solehah, 39 tahun, pemasang senar raket bilang, ”Setelah dari sini baru raketnya nanti dikasih merek, gagangnya dikasih handuk itu lho. Kalau sudah masuk toko harganya jadi mahal.”

Ibu Solehah mulai memasang senar raket sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Ia bantu-bantu ibunya yang juga bekerja di rumah memasang senar raket. “Ibu saya sampai sekarang masih kerja memasang senar raket.” begitu jelasnya.

Suasana kerja industri rumahan di kelurahan Bale Arjo Sari, Kota Malang. (Feri Latief)

Ibu Solehah seperti juga pekerja yang lain menerima upah borongan. “Sehari saya mengerjakan lima lusin raket. Perlusinnya dibayar Rp2.500, jadi sehari saya dapat Rp12.500. Itu juga kalau ada kerjaan, sering juga tidak ada order sama sekali dalam jangka waktu yang lama.” jelas Solehah.

Waktu kerjanya enam hingga delapan jam perhari. Kalau kedua anaknya pulang sekolah mereka akan membantu ibunya memasang senar raket. Penghasilan itu tentu tak mencukupi untuk keperluan keluarga. Untuk itu ia juga punya usaha sampingan yakni menjual belut yang dikumpulkan dari sawah-sawah di sekitar tempat tinggalnya.

Upah memasang raket memang kecil tapi Solehah seperti juga ibunya tetap setia dengan pekerjaan itu. “Enaknya bisa dikerjakan di rumah sambil ngurus anak dan suami.” Begitu alasanya menjadi buruh rumahan yang diupah murah.

Di kampung lain tapi masih di kelurahan yang sama, Bale Arjo Sari, Kecamatan Blimbing - Kota Malang, Ibu Ida Tianingsih, (32), tidak mengalami situasi tanpa order seperti Ibu Solehah. Sebagai buruh rumahan selalu ada penugasan untuk dirinya. Karena ia bekerja langsung di rumah juragan sebagai penyortir dan pemotong bulu angsa untuk shuttlecock.

Waktu kerjanya seperti buruh formal, masuk jam delapan pagi pulang jam lima sore. Upah perharinya Rp24.000. Walau jauh di bawah UMR kota Malang, masih lebih baik dari upah yang diterima Solehah. Ida dan beberapa ibu lainya senang bisa bekerja memilah, memotong, dan merapihkan bulu angsa.

Usaha rumahan pembuatan shuttelcock di kelurahan Bale Arjo Sari juga merekrut kaum lelaki. Tugas mereka: melubangi gabus untuk ditanamkan bulu angsa yang sudah dijahit dan dirapihkan oleh Ida dan kawan-kawan.

Mereka dibayar lebih tinggi karena upahnya borongan. Misalnya Joko, (40), dibayar Rp250/doz untuk pemasangan bulu shuttlecock yang ia kerjakan. “Sehari saya bisa mengerjakan 150 doz dengan upah Rp37.500.”