Joko menjelaskan, kalau diperhatikan volume kerja dan keterampilan yang dibutuhkan tak beda dengan apa yang dikerjakan Ida dan kaum ibu lainnya. Kaum ibu di sana tidak pernah mempertanyakan perbedaan itu. Mereka lebih bersikap 'nrimo dengan hal tersebut.
Angka produksi raket dan shuttlecock di sana tak pernah didata dengan pasti. Sebagai pembanding mungkin bisa digunakan permintaan pasar untuk shuttlecock yang diterima salah seorang juragan, Suraji, (47). Dalam sebulannya ia mengerjakan pesanan 1.000 slop atau 12.000 buah shuttlecock dengan harga Rp33.000/slop. Itu senilai Rp33 juta.
Belum lagi juragan lainnya yang ada di kelurahan Bale Arjo Sari. Itu hanya shuttlecock, belum termasuk raket. Data resmi tidak diperoleh. Berapa besar perputaran uang di sana perbulannya?
Namun, yang jelas kaum ibulah yang menjadi ujung tombak dalam pengerjaannya. Nasib pekerja rumahan industri raket dan shuttlecock seperti juga prestasi pebulutangkis kita akhir-akhir ini, tak ada perkembangan berarti.
Tapi dari tangan-tangan kaum ibu inilah lahir raket dan shuttlecock yang akan digunakan oleh anak-anak calon penerus Rudi Hartono dan Susi Susanti. Produk mereka menjadi penyambungkan generasi ke generasi lainya. Mereka layak disebut pahlawan bulutangkis, namun tanpa piala.