Pelajaran Gunung Padang dan Etika Penelitian

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 2 Mei 2013 | 12:23 WIB
Dr. Ali Akbar dalam pemaparan ceramahnya menunjukkan beberapa titik penting Gunung Padang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Penelitian yang dilakukan Lutfi Yondri dan timnya dari Balai Arkeologi Bandung juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.

Sebagai upaya pelestarian dia mengusulkan ditetapkannya tiga zonasi perlindungan. Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi.

Dan, Zona  Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi. "Situs megalitik Gunung Padang perlu segera ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan zonasi yang dihasilkan dari penelitian," tulis Lutfi dalam laporannya, "sehingga nantinya kelestarian situs megalitik Gunung Padang dapat dijaga."

Meskipun belum mendapatkan status resmi cagar budaya menurut perundangan baru, situs ini dapat dikategorikan "diduga cagar budaya" dan mendapat perlakuaan semestinya sebagai cagar budaya.

Pada 29 April 2013 Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana telah menghentikan sementara ekskavasi di situs megalitik tersebut.

Hingga berita ini ditayangkan, Forum Pelestari Gunung Padang masih menantikan keputusan pemerintah soal moratorium penghentian penelitian yang dilakukan tim tersebut dan penunjukan lembaga negara yang memiliki kompetensi di bidang arkeologi sebagai penanggung jawab.

Forum ini juga secara terbuka mengharapkan pihak-pihak yang peduli terhadap pelestarian situs Gunung Padang untuk bertukar informasi dan menyatukan pendapat.