Ketika saya sedang bersantai sementara Ika berada di bangunan dapur, si bapak petani itu muncul tanpa dinyana dan ikut bergabung dengan saya di ”saung kecil”—istilah kami untuk empat bangku kayu yang mengitari meja kayu pula di salah satu pojokan camping ground yang diberi atap.
Cerita tentang petani Sarongge, di mata saya, merupakan cerita yang mewakili pergulatan petani di Pulau Jawa. Lahan semakin sempit, penduduk semakin banyak, sehingga terpaksa merambah hutan di lereng-lereng gunung.
Para petani Jawa menyiasati keterbatasan lahan, bersaing dengan para pemodal yang menanam tanaman industri di desa mereka hanya karena udaranya cocok untuk jenis tanaman investasinya. Seperti perkebunan-perkebunan strawberry yang tampak beroperasi di Sarongge.
Di saat yang sama, Jawa membutuhkan hutan. Jalan damai yang terbaik dapat mengacu kepada moto sederhana yang diucapkan seorang petani Sarongge dalam novel karya Tosca: ”Perlu ada tiga ’o’. Leweung hejo. Reseup anu nenjo. Patani ngejo. Hutan kembali hijau. Yang melihat merasa senang. Petani pun tetap bisa menanak nasi.”
Kisah sebelumnya mengenai Sarongge: Pelestarian Berbasis Masyarakat di Sarongge