Rupa-rupanya, budaya dari masa ratusan tahun lalu itu masih berlanjut di sebuah pasar di Jawa hingga hari ini—meskipun sudah langka. Ketika Titi melakukan studi etnoarkeologi, dia pun mendapati bahwa Pasar Turen masih menjadi corong berita kemalangan warga sekitar: sakit atau meninggal dunia.
Seiring perkembangan peradaban, kini pasar tradisional pun cenderung mulai terdesak oleh dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan dengan pasar mutakhir yang dikemas untuk masyarakat perkotaan. Sebuah tuntutan zaman yang semakin praktis dan serba tertata dan cepat.
Ada “nilai kearifan yang hilang,” menurut Titi menanggapi maraknya gaya hidup berbelanja di pasar swalayan atau hypermarket. Bahwa pasar kini sebagai tempat kegiatan ekonomi belaka, sementara fungsi pasar sebagai tempat kegiatan sosial dan kegiatan kesenian sudah pupus.
Titi berharap, “Semoga pasar tradisional tetap dipertahankan karena dengan pasar seperti ini masih terjadi komunikasi yang baik antara penjual dan pembeli, penjual dengan penjual, pembeli dengan pembeli.”
Interaksi menjadi kata kunci soal keeratan hubungan dalam komunitas pasar, yang tidak ditemui apabila berbelanja di pasar swalayan. Konsep pasar sebagai tempat belanja hanya untuk kalangan menengah ke bawah, berbau tak sedap, dan kumuh itu harus diperbaiki, demikian hemat Titi.
Titi memberi contoh sebuah pasar tradisional di Tangerang Selatan yang telah direvitalisasi tanpa menghilangkan nilai interaksi sosial. Dia menyebutnya pasar modern, sebuah “pasar tradisional yang sudah diubah [sehingga] menjadi menyenangkan bagi yang berbelanja, dan bersih.”