Ngoan kecil dimakamkan di belakang gubuk orangtuanya. Kuburannya, makam beton besar seperti makam-makam lain yang terlihat di pedesaan Vietnam, berada di gundukan tanah antara kolam ikan dan sawah hijau menguning.
Di dekat makam, keluarga Ngoan meletakkan barang-barang kesukaannya: kursi boneka, koleksi kerang, dan sandal plastik. Mereka mengecat nisannya dengan warna biru keabuan. Saat orangtua Ngoan pergi membantu menuai panen padi, sanak keluarga lain berbagi kenangan.
“Ia masih kecil, baru sepuluh tahun,” ujar neneknya, duduk di kasur ayunan. “Ia sangat lembut dan murid yang baik. Jika Anda melihat kakaknya – perempuan berusia 17 tahun yang berdiri di kejauhan dengan malu-malu – Anda bisa membayangkan seperti apa dia,” kata kakek Ngoan, terdiam dalam kesedihan, menyalakan sebatang hio di makamnya.
Kehilangan anak kesayangan begitu menghujam keluarga ini. Namun biasanya, dunia hanya memberi sedikit perhatian terhadap kematian anak yang disebabkan penyakit infeksi di ujung terpencil Delta Mekong di Vietnam ini. Bencana lama seperti demam berdarah dan tipus masih sangat membahayakan di sini, ditambah HIV/AIDS yang meningkat.
Namun, kematian Ngoan dan lebih dari 50 orang lainnya di Asia Tenggara selama beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kekhawatiran dunia. Negara-negara yang terpengaruh berjuang mengambil tindakan yang tepat; bangsa-bangsa lain mengirim bantuan dan para penyuluh ke Asia Tenggara sambil memasok obat-obatan dan mengembangkan vaksin di negara-negara mereka.
Dan para ilmuwan mengalami kemajuan riset dalam menentukan penularan penyakit antara hewan dan manusia. Mengapa? Sebab Ngoan meninggal karena flu.
Flu kerap diabaikanBagi kebanyakan orang, flu adalah penyakit mengganggu, menjengkelkan sepanjang tahun layaknya pajak pendapatan atau kunjungan ke dokter gigi. Sebagian orang malah menganggap serangan flu tidak perlu dirisaukan.
Tetapi flu dapat menjadi lebih berbahaya daripada yang diduga. Virus menyebar begitu mudah lewat sedikit cairan yang menulari 30 juta hingga 60 juta orang Amerika setiap tahun.
Sekitar 36.000 orang meninggal di AS, kebanyakan manula. Virus bermutasi begitu cepat sehingga tak seorang pun pernah sepenuhnya kebal, dan vaksin baru harus dibuat setiap tahun.
Itu flu biasa. Namun penyakit yang mengambil nyawa di Asia Tenggara bukanlah flu biasa. Korban utamanya ayam-ayam, lebih dari seratus juta ayam, terbunuh karena virus atau seringkali karena upaya pengendalian yang sia-sia.
Ayam-ayam biasa menderita flu; sebenarnya, virus-virus flu burung jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan virus-virus flu pada manusia. Tetapi Robert Webster dari Rumah Sakit Riset Anak-Anak St. Jude di Memphis telah mempelajari berbagai virus flu selama 40 tahun dan belum pernah menemukan jenis flu seperti yang telah membunuh Ngoan.
“Virus ini dalam bentuk paling primitif sebelum bermutasi, mungkin virus flu terburuk, dalam arti menjadi sangat patogenik, daripada virus-virus yang pernah saya temui atau teliti,” kata Webster. Tidak hanya menakutkan karena mematikan ayam-ayam, yang dapat mati dalam hitungan jam setelah terkena virus, membengkak dan mengalami pendarahan, tetapi virus ini juga membunuh mamalia mulai dari tikus laboratorium hingga harimau dengan kecepatan serupa.
Secara sporadis, orang-orang terjangkiti virus ini pula, tertular dari unggas terinfeksi seperti ayam-ayam yang mati di peternakan keluarga Ngoan beberapa hari sebelum ia jatuh sakit. Separuh dari kasus flu burung yang diketahui menimpa manusia berakhir dengan kematian.
Sepuluh tahun terakhir, dari 2003 sampai 2013, telah terjadi 622 kasus flu burung yang menyerang manusia di seluruh dunia, dengan kasus terbanyak terjadi di Indonesia, Mesir, dan diikuti oleh Vietnam. Sebanyak 371 kasus di antaranya, atau sekitar 60 persennya, berakhir dengan kematian.
Lantaran kematian tersebut, banyak pakar kesehatan masyarakat memberi ceramah untuk mengantisipasi bencana itu. Sampai sekarang, virus ini – diklasifikasi sebagai H5N1 karena dua jenis protein yang bertaburan di permukaannya seperti paku-paku panjang pada gada – tidak mahir berpindah dari unggas ke manusia, jarang sekali dari satu orang ke orang lain.
“Virus ini bisa saja mudah berpindah dari unggas ke manusia, tetapi kemudian tidak mudah menyebar dari manusia ke manusia,” ujar Webster. “Syukurlah. Kalau tidak, kita bakal menghadapi masalah besar.”
Mungkin H5N1 tidak pernah belajar cara berpindah dari satu orang ke orang lain seperti flu-flu lebih ringan lainnya yang setiap tahun memaksa para penderitanya tinggal di rumah selama beberapa hari. Barangkali virus H5N1 sama sekali tidak bisa.
Atau mungkin upaya-upaya untuk membasmi virus – sejauh ini umumnya tidak teratur dan kekurangan dana – akan berhasil.
Namun para pakar mendesak dunia untuk siap akan kemungkinan skenario terburuk.
Pengetahuan tentang kapasitas mengagumkan virus-virus flu untuk berubah dan menjangkiti spesies, telah menimbulkan keyakinan tak terhindarkan, pendirian bahwa meskipun jika flu hewan berbahaya ini tidak meledak menjadi pandemik global yang membunuh jutaan manusia, maka flu lain bisa.
“Akan terjadi, pada suatu saat di masa depan, virus seperti ini bermutasi sehingga dapat berpindah dari satu orang ke orang lain,” kata Jeremy Farrar, dokter Universitas Oxford yang memerangi flu burung di Hospital for Tropical Disease Tropis di Ho Chi Minh City, Vietnam. “Ini tentu akan terjadi. Dan kalau terjadi, dunia akan menghadapi pandemik yang sungguh menakutkan.”
Betapa pun, wabah seperti ini pernah terjadi sebelumnya.
(Artikel ini merupakan penggalan dari Melacak Flu Pembunuh Berikutnya yang pernah terbit di National Geographic Indonesia Oktober 2005, dilengkapi dengan up-date berita terkini.)