Flu Spanyol, Lebih Mematikan dari Perang Dunia

By , Senin, 24 Juni 2013 | 12:46 WIB
()

Pada 1918, tahun terakhir pertempuran dengan cara membuat parit perlindungan primitif dalam Perang Dunia I, sesuatu yang lain mulai mematikan para tentara. Tidak seorang pun tahu pasti kapan atau di mana flu Spanyol muncul, meskipun flu ini tentu saja bukan dari Spanyol.

Sebagai negara netral, Spanyol tidak memiliki penyensoran masa perang, dan agaknya flu ini memperoleh asal-usul yang salah dari berita-berita tentang penjangkitan wabah di sana pada Mei 1918.

Sebenarnya penyakit ini sudah menyebar pada kedua kubu di Eropa, membunuh seluruh divisi tentara sepanjang musim semi dan awal musim panas. Kemudian flu ini tampaknya mereda. Meski demikian, pada akhir musim panas, flu Spanyol kembali, dan keganasannya jelas.

Penderita berbaring di ranjang disertai demam, sakit kepala menusuk, dan sakit pada tulang-tulang sendi. Kebanyakan penderita orang dewasa yang masih muda, sama seperti kelompok yang biasanya tidak menghiraukan flu.

Sekitar lima persen penderita meninggal, sebagian hanya sakit selama dua atau tiga hari, wajah mereka berubah ungu pucat seperti mayat karena mereka pada dasarnya kehabisan napas menjelang ajal. Para dokter yang membedah dada korban-korban terkejut: Paru-paru, biasanya ringan dan lentur, menjadi berat seperti spons penuh air, tersumbat cairan darah.

Setelah melintas cepat melalui tenda-tenda militer dan kapal-kapal pengangkut serdadu yang ramai di Eropa dan Amerika Serikat, flu ini beralih ke kota-kota pelabuhan dan industri. Di Philadelphia, sejarawan Alfred Crosby menemukan, 12.000 orang meninggal karena flu dan pneumonia (radang paru-paru) pada bulan Oktober – 759 orang meninggal dalam sehari.

Sekolah-sekolah dan kantor-kantor ditutup, kebaktian di gereja dibatalkan. Tempat-tempat penyimpanan mayat penuh. Penderita kemudian menyebar ke kawasan paling terpencil di dunia, dari Pasifik Selatan menuju ke Artik.

“Setiap orang di Bumi menghirup udara bervirus, dan separuh dari mereka menjadi sakit,” kata Jeffery Taubenberger dari Armed Forces Institute of Pathology di Maryland, yang mencoba mempelajari apa yang membuat flu ini menjadi pembunuh mematikan.

Lebih dari 50 juta orang meninggal – paling sedikit tiga kali lebih banyak dibandingkan dalam perang. Para ahli medis terbaik saat itu sulit mempercayai penyebab kematian tersebut adalah flu.

Ilustrasi virus (Wikimedia Commons)

Lemahkan Kekebalan TubuhTidak diragukan memang flu, tetapi dengan perbedaan sangat penting yang baru mulai dipahami para ilmuwan. Bertebaran di seberang meja Taubenberger balok-balok lilin bening seukuran kotak korek api.

Dipinjam dari arsip patologi, kotak-kotak ini menyimpan potongan jaringan keunguan sebesar kuku jari, dipotong dari paru-paru para korban flu di rumah sakit-rumah sakit militer AS hampir 90 tahun silam.

Pada pertengahan 1990-an, Taubenberger dan para koleganya sadar bahwa pada sampel dari seseorang yang meninggal dengan cepat, paru-paru masih menyimpan virus, mungkin masih mengandung jejak genetika si pembunuh. Mereka benar: Tahun 1996 jaringan paru-paru dari seorang tentara yang meninggal pada September 1918 di Fort Jackson, South Carolina, mengandung sejumlah gen virus.