Rumah Beton Lantak, Rumah Papan Bertahan

By , Kamis, 11 Juli 2013 | 08:30 WIB

Kecamatan Timang Gajah adalah lokasi dampak gempa paling parah untuk delapan kecamatan yang terdampak di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data total kerusakan infrastruktur mencatat hingga 1.332 rumah, 16 buah masjid, 12 meunasah, sembilan sekolah.

Reruntuhan Masjid Al-Hidayah

Di Desa Cekal Baru, Timang Gajah, gempa bumi meluluhlantakkan sejumlah rumah serta meunasah (semacam aula) dan masjid setempat, Masjid Al-Hidayah.

Menurut warga setempat, gempa hanya dirasakan di sana selama delapan detik. "Saat itu terjadi getaran berasal dari bawah, seolah tanah terangkat," ungkap seorang bapak. "Getarannya sangat hebat, sampai kaki pun tidak bisa digerakkan maju; dan hanya dalam beberapa tarikan napas, rumah-rumah roboh."

Sebagian besar, bangunan rumah permanen dari semenlah yang diruntuhkan gempa. Tapi rumah dari kayu bertahan. "Yang hancur adalah fondasi pada rumah-rumah beton, yang rumah papan bertahan," papar Rukhiah, ibu dari satu putri, Ningsih.

Ini disebabkan rata-rata rumah papan memiliki fondasi model rumah panggung dan relatif lebih tahan terhadap hentakan gempa tektonik. Hentakan keras permukaan tanah seperti gempa tempo hari membuat rumah beton lebih mudah "rontok", sementara rumah yang tersusun atas kayu tetap mampu dengan tegak berdiri juga karena diperkuat paku.

Warga yang rumahnya ambruk oleh gempa, baik yang rusak berat atau rusak ringan, kini tinggal di tenda-tenda. Namun mereka cenderung mendirikan tenda mandiri dari bahan seadanya, karena tidak mau meninggalkan rumahnya jauh tanpa penjagaan.

Diperlukan alas tidur, selimut, obat-obatan, serta tambahan tenda. Tenda yang telah ada tidak muat dan terpaksa berdesakan tidak nyaman, juga kekurangan selimut—padahal di malam hari dingin cukup menusuk. "Daerah ini siang termasuk panas, tetapi memasuki malam udara bisa jadi sangat dingin," tambah Ningsih.

Pusat gempa berkekuatan 6,2 SR tersebut berada di kedalaman sepuluh kilometer. Letak pusat gempa sekitar 35 kilometer sebelah barat Bener Meriah, 43 kilometer tenggara Bireuen, dan 50 kilometer barat laut Aceh Tengah. Gempa subduksi disebabkan sesar aktif di daratan Aceh.

Traumatis

Nurcaya dan putranya (Gloria Samantha/NGI)

Nurcaya (54), yang merupakan salah satu warga Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, mengaku gempa telah membuat keluarganya trauma.

Ditemui pada tenda kegiatan anak di suatu posko pusat korban di Belang Mancung-Ketol, Aceh Tengah, Nurcaya menemani putra bungsunya bermain susun-menyusun gambar dan balok.

"Saat gempa terjadi, saya sedang di rumah saudara yang lain, tengah duduk-duduk. Saya terpekik. Takut sekali. Lantas saya berlari ke rumah. Anak-anak sudah tak ada. Tanah retak. Isi rumah berserakan. Semua orang berhamburan keluar," tuturnya.

Gustian (3,5), bungsu dari enam bersaudara, sedang tidur di ayunan. Gustian rupanya sempat tertinggal di rumah, kemudian baru kakak-kakaknya kembali dan dia diselamatkan. Kata Nurcaya, Gustian menderita sakit selama beberapa hari setelah mengalami peristiwa. Dia demam panas, batuk, dan pilek.

Nurcaya mengungkapkan lagi, efek kegiatan permainan tampaknya dapat membantu anak-anak di pengungsian mengatasi pengalaman buruk dan membangkitkan semangat. "Saya sendiri—karena menemani—jadi tidak terlalu sedih. Biasanya setiap mengingat itu, rasa ingin nangis terus," ujarnya.

Tapi hingga sekarang ini, terlepas dari banyaknya bantuan yang diturunkan bagi berbagai posko, kondisi di pengungsian serba kekurangan. Kekurangan yang paling dirasakan pengungsi adalah kekurangan air bersih. "Mungkin kalau dulu, bisa ambil air dari mata air di gunung. Sekarang tidak mungkin bisa," kata Nurcaya.

Warga butuh penanganan langsung dan serius pemerintah untuk relokasi. Warga Ketol khususnya Desa Serempah memang tidak memungkinkan membangun dan memperbaiki rumah-rumah, karena lokasinya yang sudah tidak layak huni. Mereka harus tinggal di posko pengungsi selama sekurangnya dua bulan ke depan.