Berburu Gabus-Gabus Terakhir

By , Jumat, 12 Juli 2013 | 11:59 WIB

Perjalanan mengikuti Edi Petor (42) berburu ikan gabus ibarat ziarah ke Jakarta tempo doeloe. Kami menyusuri jalanan tanah, rawa-rawa, sawah, dan sungai yang airnya mengalir deras dan masih dihuni ikan gabus, belut, dan betok.

Matahari baru terbit, mengusir kabut di Ciseeng, Bogor. Edi Petor dan asistennya, Arif (38), menyiapkan peralatan berburu gabus berupa sebuah kotak baterai yang terhubung kabel ke tongkat kayu berujung besi. Ia mencoba tombol sakelar dan api pun memercik di ujung tongkat itu. ”Semua udah siap, kite berangkat sekarang,” kata Edi dengan logat Betawi kental.

Sejurus kemudian, Edi melaju di atas motor tua yang suara knalpotnya memekakkan telinga. Arif membonceng sambil membawa peralatan berburu ikan gabus (Channa striata) yang biasa hidup di rawa-rawa, sawah, dan sungai. Ikan jenis predator itu sulit dibudidayakan.

Motor itu bergerak menyusuri jalan-jalan kampung yang bermuara di Jalan Raya Ciseeng. Sepagi itu, jalan telah ramai. Truk, sepeda motor, dan mobil pribadi berlomba membelah jalan yang sempit. Di Desa Cidokom, Gunung Sindur, motor berbelok ke arah jalan berbatu yang diapit petak-petak sawah dan ladang yang baru saja diuruk untuk proyek perumahan.

Sepeda motor yang dikendarai Edi semakin jauh menyusuri jalanan tanah hingga ke ujung Desa Cidokom. Dia lalu memarkir kendaraannya di warung kopi langganan. Dari situ, dia berjalan kaki menyusuri pematang sawah yang tanaman padinya masih hijau.

Di ujung persawahan, Edi dan Arif tiba di tepi sungai yang airnya mengalir deras. Mereka turun dan membiarkan diri terendam air hingga pinggang. Edi mengamati air sungai yang mengalir tenang beberapa detik, lantas mulai mencelupkan tongkat setrumnya ke ceruk-ceruk di dinding sungai.

Namun, ikan gabus yang ia cari belum kelihatan. Baru pada penyetruman kelima, seekor ikan gabus kelojotan dan pingsan. Edi menyerok gabus sepanjang 15 sentimeter dan memasukkan ke dalam jeriken berisi air yang dibawa Arif. ”Ikannya enggak boleh sampai mati. Kalau mati, enggak laku dijual,” kata Edi.

Hampir setengah jam, Edi dan Arif berendam di anak sungai itu. Baru dua ekor gabus ukuran kecil yang mereka peroleh. Mereka memutuskan berpindah ke sungai lain. Kami mengikuti keduanya yang berjalan beriringan menyusuri pematang sawah dan melompati saluran irigasi.

Begitu tiba di Bendungan Jeletreng, Desa Kaki Tapak, tiba-tiba, seorang lelaki paruh baya yang tengah menguras kolam ikan datang mendekat dan bertanya kepada kami. ”Mau ngukur tanah ya Pak? Emang kapan mau ngebangun?” katanya. Rupanya dia mengira kami pegawai perusahaan kontraktor yang telah memborong tanah di sana.

”Tanah-tanah di desa ini sebagian emang udah dibeli kontraktor. Mungkin enggak lama lagi akan jadi perumahan,” jelas Edi sambil turun ke sungai.

KuntilanakEdi menekuni profesi pemburu gabus sejak tahun 1985 ketika dirinya terkena PHK. Daripada luntang-lantung, lanjut Edi, ia pergi memancing gabus. Hasilnya ternyata cukup banyak. Sekali memancing dapat 25 ekor ikan gabus besar. ”Kalau dikiloin bisa lima - sepuluhkilogram. Tahun-tahun berikutnya saya neger dan hasilnya lebih banyak,” kenang Edi.

Neger adalah memasang pancing dalam jumlah banyak pada malam hari dan mengangkatnya pada pagi hari. ”Dari 100 pancing yang saya pasang, bisa dapat 50 ekor gabus,” katanya.

Karena hasil berburu gabus menjanjikan, Edi memilih menggantungkan hidup sebagai pemburu gabus. Sesekali ia menjadi anak panggung di sebuah grup lenong. Peran yang ia mainkan tidak banyak, paling-paling jadi centeng. ”Tapi saya suka banget lakonnya. Judulnya ’Kuntilanak Minjem Beras’,” tutur Edi diikuti tawa.

Edi pernah merasakan manisnya rezeki gabus. Sehari, ia bisa memperoleh Rp125.000 dari penjualan gabus hasil buruan. Namun, masa-masa itu sudah lewat. ”Sekarang cari gabus dua kilo aja susahnya minta ampun. Dari ujung ke ujung kali atau rawa sampe pinggang melintir,” ujar Edi.

Karier Edi sebagai pemburu gabus rupanya sedang di ujung hari seiring dengan mulai berubahnya wajah Ciseeng. Sawah dan rawa yang dulu menjadi habitat gabus kini berganti wajah menjadi ”habitat” kompleks perumahan dan pabrik.

Sawah dan rawa yang tersisa tinggal menunggu waktu untuk diuruk. Fenomena itu persis seperti yang terjadi di kampung-kampung di Jakarta pada tahun 1970-an dan 1980-an ketika pembangunan fisik digalakkan. ”Saya mulai bingung cari gabus di mana lagi. Masak nyari gabus di laut, emang ada?” ucap Edi diiringi tawa getir.

Ketika gabus kian sulit dicari, tambah Edi, pemburu gabus justru kian banyak. Setidaknya ada sepuluh pemburu gabus di Ciseeng yang Edi kenal. Maklum harga gabus cukup tinggi, Rp30.000 per kilogram di tingkat pemburu gabus.

Tiga jam berlalu, Edi baru memperoleh empat ekor gabus ukuran kecil. Ia mengakhiri perburuan gabus untuk hari itu. Gabus yang cuma sedikit itu ia jual ke sebuah warung di Jalan Gunung Sindur.

Warung itu menerima berbagai macam ikan sungai, rawa, dan sawah liar untuk dijual kembali. Pemiliknya memasukkan ikan-ikan itu ke kantong plastik berisi air lalu menggantungkannya di depan warung untuk menarik perhatian pembeli. Ada kantong berisi gabus, belut berbagai ukuran, dan tawes. Semuanya dalam keadaan hidup.

Nuraeni, pemilik warung, mengatakan, pelanggannya berasal dari berbagai wilayah. Kadang ada yang datang dari Ciputat atau Pamulang. Sebagian dari mereka adalah pemilik warung makan Betawi yang menyediakan menu pecak dan pucung gabus, serta pecak belut. Nur menjual satu kilogram gabus seharga Rp40.000, sedangkan belut Rp50.000.

Di sepanjang Jalan Gunung Sindur hingga Jalan Ciseeng, ada lima warung yang menjual ikan sungai, sawah, dan rawa. Dulu, penjual ikan liar cukup banyak. Sebagian sudah tutup karena pasokan ikan berkurang. Gabus yang diburu Edi dan kawan-kawan boleh jadi adalah gabus terakhir di pinggiran Ibu Kota.