Pelabuhan di Sela Penjelajahan

By , Kamis, 15 Agustus 2013 | 08:00 WIB

Malam kian larut. Kami yang duduk di atas pasir kian gelisah. Angin yang berembus dari lautan lepas menyusupkan dingin ke dalam relung tubuh. Tanpa terasa dua jam telah berlalu dan kami masih tidak boleh bercakap. Kami menunggu aba-aba. Begitu tiba saatnya, tentulah rasa penasaran terjawab.

Penggali pasir itu telah menunaikan tugasnya. Ia bergerak dari lautan lepas tanpa derungan mesin. Menepi di pasir lembut hanya menyisakan bunyi yang berbisik. Jejak langkahnya seperti guratan teratur.  Penyu betina mulai menaruh satu persatu telur, yang mirip butiran berkilau sebesar bola pingpong. Begitu selesai, ia menutup lubang dengan menyapukan sirip depan untuk meratakan tempat itu.

Begitulah sekelumit adegan ketika menyaksikan penyu bertelur di tepian pantai di Kawasan Taman Pesisir Pantai Penyu, Sukabumi. Wilayah yang juga disebut Pangumbahan Turtle Center membentang seluas 58,43 hektar dengan bibir pantai sepanjang 2,3 kilometer. Sebelum Kementerian Kelautan dan Perikanan meresmikannya pada 22 Desember 2009, antara 1973 sampai 2008, pihak CV. Daya Bakti mengelola kawasan ini.

Pada rentang 2001 – 2005, berdasarkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2001 tentang pajak sarang burung walet, telur penyu dan rumput laut, 70 persen telur penyu dimanfaatkan dan 30 persen ditetaskan untuk pelestarian. Setelah itu, terbit Perda No. 16 Tahun 2005 tentang pelestarian penyu di Kabupaten Sukabumi yang masih memanfaatkan 50 persen telur penyu, sisanya ditetaskan.

Kini, menurut Subtomy Subas, kepala Bidang Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi, kawasan Pangumbahan ditujukan untuk melindungi penyu dan habitatnya dari ancaman yang menyebabkan penurunan populasinya. Selain itu, kawasan ini juga dapat digunakan sebagai tempat penelitian dan pariwisata. “Pangumbahan hanyalah satu dari sembilan lokasi peneluran di Sukabumi yang bisa dipantau,” terang Subtomy.

Selama tahun 2010, tak kurang 157.690 butir telur ditetaskan dan 106.104 ekor tukik dilepas (tukik lebih sedikit, karena hasil tetasan 45 – 60 hari sebelumnya). Jumlah penetasan yang besar membuat Pangumbahan menjadi kawasan pelestarian penyu yang penting. Memastikan telur penyu tetap aman, menetas menjadi tukik, hingga kembali ke lautan adalah tahap terpenting dalam siklus kehidupan satwa ini.

Penyu laut, satwa purba segenarasi dengan dinosaurus, menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut; penyu betina mendarat sekadar untuk bertelur sekitar dua sampai tiga jam.

Di ujung tenggara Tanah Jawa, pantai berpasir Alas Purwo kerap menjadi persinggahan beberapa jenis penyu yang mengembara di Samudra Hindia.

Di kawasan lindung berstatus taman nasional ini terdapat Pantai Ngagelan. Pantai yang membentang sepanjang 18 kilometer yang menjadi lokasi perteluran empat jenis penyu: sisik, hijau, belimbing dan abu-abu. Pantai Ngagelan menjadi tempat favorit penyu abu-abu bertelur.

Alas Purwo adalah kisah sukses konservasi penyu di Indonesia. Balai Taman Nasional ini merekam jumlah penyu yang mampir bertelur terus meningkat sepanjang waktu. Tren jumlah sarang terus menanjak, dari belasan pada 1983 merangkak naik sampai 700 lebih sarang pada 2008 yang 95 persen lebih merupakan sarang penyu abu-abu.

Di wilayah Bali, para pemerhati dan pelestari penyu telah mengidentifikasi empat pantai sebagai lokasi perteluran penyu. Keempat pantai berpasir tersebar di sejumlah Kabupaten: Badung (Pantai Kuta), Klungkung (Pantai Lepang), Buleleng (Pantai Pemuteran), dan Jembrana (Pantai Perancak).

Marilah kita tengok Pantai Perancak yang memiliki bentang pesisir hingga 40 kilometer. Di wilayah ini, pantai berpasir menjadi tempat pendaratan dan perteluran empat jenis penyu: penyu hijau (Chelonya midas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriaceae), dan penyu lekang (Lepidochelys olivaceae). Yayasan Kurma Asih mengelola tempat perteluran ini.

Pada tahun 1980-an, lembaga ini terbentuk berkat upaya WWF-Indonesia. Ketika itu, metode pengelolaan yang dilakukan adalah pola adopt the nest oleh para travel biro/wisatawan/donor lainnya, yang pada saat menetas dan pelepasliaran tukik, atraksi ini akan ”dijual” kepada wisatawan mancanegara. Begitu terjadi peristiwa Bom Bali I dan II, pola ini menjadi tidak efektif. Penyebabnya, jumlah pejalan dari luar negeri terus menyusut.