Takdir pantai timur Sumatra berubah sejak pembukaan lahan perkebunan baru pada akhir abad ke-19, yang melejitkan Medan. Wajah kota itu pun bak gadis yang bersolek.
Para pemilik modal berbagai kebangsaan bertaruh dengan manisnya keuntungan hasil perkebunan. Berbagai kantor perkebunan, bank, hotel, dan sarana rekreasi pun menjamur di kota itu. Permintaan tenaga kasar perkebunan pun meningkat yang mengakibatkan mobilisasi besar-besaran penduduk dari Jawa ke Sumatra.
Perusahaan perkebunan merekrut tenaga kerja dari Jawa dan Cina. Mengapa Jawa dan Cina? Karena pasokan tenaga kerja setempat sangat terbatas, sementara orang-orang Melayu asli tidak begitu tertarik bekerja di perkebunan.
Saya memandangi sebuah gedung berkubah hijau art-nouveau berangka “1918” dan “1919” di sebuah persimpangan Jalan Kesawan, Medan. Inilah gedung AVROS (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatera atau Asosiasi Pemilik Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra) dibangun pada 1918-1919. Asosiasi serupa pernah dibentuk pada 1879 yang bernama Deli Planters Vereeniging (DPV).
Arsitek gedung ini adalah G.H. Mulder. Gaya arsitektur karyanya dipengaruhi oleh rasionalisme yang bangkit pada awal abad ke-20. Bangunan empat lantai dalam konstruksi beton ini juga memiliki dekorasi sederhana dalam gaya art-nouveau. Setiap lantai memiliki balkon berupa galeri terbuka. Galeri ini dirancang untuk melindungi ruang dalam dari terpaan panasnya matahari, sehingga ruangan selalu sejuk—tanpa pendingin ruangan. Inilah adalah penyesuaian arsitektur untuk iklim tropis.
Secara organisasi, AVROS sejatinya telah berdiri pada 1910. Asosiasi ini dan menetapkan sendiri penelitian yang terkait dengan tanaman pertanian dan industri. Anggotanya tak hanya pemilik perkebunan asal Belanda, tetapi juga Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, dan Amerika Serikat.
Sejak 1967 gedung AVROS berganti nama menjadi BKS-PPS (Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera). Berbeda nama, namun masih mengusung tujuan yang sama.
Saya berkesempatan meniti tangga yang berlapis kayu hingga ke dalam kubah menaranya, sebuah ruang jam menara, sekaligus ruang resonansi nan pengap. Ruangan bercat putih itu menggemakan dentang lonceng ke penjuru kota lewat lubang angin bergaya art-nouveau di dinding kubahnya.
Di dalam kubah itu masih bekerja dengan setia mesin jam lonceng bermerk “Nederlandschefabriek Torenuurwerken B. Eijsbouts – Asten”. Lonceng menara itu buatan pabrik sohor Bonaventura Eijsbouts di Kota Asten, Belanda, dan baru dipasang pada 1920. Sedikit tentang sejarah sohornya Bonaventura Eijsbouts. Awalnya Bonaventura merupakan pembuat jam tangan. Namun sejak 1872 dia memulai pabrik pembuatan jam menara di bengkel sederhana di belakang rumahnya.
Berkat kualitas yang baik dan ketepatan jamnya, banyak pengelola gedung yang memesan kepadanya. Hingga hari ini, Eijsbouts menjadi penanda Kota Asten dengan museum loncengnya.
Di sebuah sudut gedung kantor AVROS, terdapat ruang arsip daktiloskopi dengan ratusan laci-laci kecil berisi ratusan ribu berkas sidik jari kuli kontrak!
Dalam ruangan sumpek diapit deretan rak tua dan diterangi cahaya temaram itu saya membuka salah satu laci dan memeriksa satu lembar berkas tua. Kertas yang sudah melapuk itu berkop “Dactyloscopisch Bureau der DPV en AVROS” tertanggal 7 November 1948. Berkas tersebut berisi data diri dan sidik jari-jari tangan kanan dan kiri milik “Martodikromo alias Jakir”. Dia merupakan kuli salah satu perkebunan karet di Medan.
Sidik jari para kuli perkebunan diperlukan dalam kontrak lantaran mereka buta huruf. Sidik jari menjadi “jaminan” supaya para kuli tidak mudah berpindah ke perkebunan lain lantaran upah yang menarik. Juga, menghindari perusahaan perkebunan yang mencoba mencari kuli dari perkebunan lain. Apabila para kuli terbukti melarikan diri dan berpindah ke perusahaan perkebunan lain, mereka akan mendapat siksa—diluar batas kemanusiaan.
Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.
Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, bagi kuli perempuan hukumannya tak terperi: kemaluannya digosok dengan merica halus.
Saya mengira sistem sidik jari untuk para kuli hanya dipakai masa kolonial. Ternyata saya salah. Seorang karyawati sepuh—tampaknya ahli daktiloskopi— bekerja dengan tumpukan arsip di sebuah meja besar tinggalan Hindia Belanda. Dia sedang menggeser lensa pembesar untuk memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan. Sambil bekerja dia tersenyum dan berujar kepada saya yang mengamatinya dengan keheranan, “Kami masih menggunakan sistem sidik jari ini untuk para karyawan perkebunan sini.”