Jika ditanyakan kepada warga Chiang Mai hal apa yang paling mereka rindukan saat jauh dari rumah, kemungkinan besar jawabannya: pasar dan kuil.
Bayangkan, kota yang luasnya kurang dari setengah luas Jakarta ini memiliki setidaknya 13 pasar. Terdiri dari pasar tradisional yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, pasar malam, yang terdiri dari pasar Sabtu malam, Minggu malam, dan “pasar setiap malam” yang menggelar beragam produk kerajinan khas dan kuliner unik, sampai pasar bunga yang memesonakan mata dan hidung dengan warna-warni dan harrum kusuma.
Demikian halnya dengan kuil: kota budaya yang terletak 700 kilometer di utara Bangkok ini memiliki lebih dari 300 kuil Buddha (wat, dalam bahasa Thailand).
Awalnya adalah ingatan saya pada ujar-ujar banyak rekan pejalan yang mengatakan “Jika ingin tahu kekayaan budaya asli masyarakat lokal di suatu tempat, kunjungi saja pasar tradisionalnya.” Berbekal fakta dan ingatan itu, saya memutuskan untuk menjadikan pasar tradisional dan susur kuil sebagai destinasi awal perjalanan saya di Chiang Mai.
Pasar Warorot, pasar tradisional terbesar dan paling terkenal yang terletak di sebelah timur laut Chiang Mai itu pun seperti memberi bukti atas pernyataan di atas. Pasar yang dikenal sebagai Kad Luang bagi warga Chiang Mai ini menyuguhkan wajah penduduk lokal Chiang Mai pada umumnya: keramahan yang orisinil, dan perpaduan kekayaan budaya dan keragaman keyakinan.
Menumpang tuk-tuk (sejenis bajaj dengan dinding samping terbuka) dari kawasan bekas kota tua Lanna dengan ongkos 80 baht (sekitar Rp 24.000)—lengkap dengan getarannya— saya sampai di perempatan Pasar Warorot menjelang tengah hari.
Pasar Warorot terletak di tepi Sungai Ping, di antara Chang Moi Road dan Thapae Road yang lebih besar. Songthaew (Red Cab, semacam mikrolet di Indonesia, tetapi berwarna merah), dan tuk-tuk terlihat berseliweran. Di beberapa sisi pasar, tuk-tuk dan songthaew berjejer menanti penumpang. Satu saran saya bagi Anda yang berminat ke sini: jangan bawa mobil karena mustahil bisa parkir. Setidaknya, tidak dengan mudah. Padahal hari sudah siang.
Uniknya, meski sibuk oleh lalu-lalang kendaraan, saya tidak merasakan bising sama sekali. Suara riuh hanya terdengar dari mesin mobil dan motor, tuk-tuk, songthaew, alunan musik dari toko penjual peralatan audio dan elektronik, atau suara penjual dan pembeli yang sedang bertransaksi. Di kemudian hari, saya diberi tahu bahwa para pengemudi kendaraan bermotor di Chiang Mai memang dikenal tidak “royal” membunyikan klakson. Berkebalikan dengan di Jakarta tercinta.
Sesekali, biksu-biksu berjubah jingga hilir mudik, memer-hatikan barang dagangan, bercengkerama dengan penjual dan melempar senyum, memberi tambahan nuansa teduh pada pasar ini.
Selepas dari Pasar Warorot, Alex, rekan pengiring, menemani saya mengun-jungi Saturday Walking Street (SWS), salah satu pasar malam pa-ling ramai di Chiang Mai, selain pasar setiap malam (Night Bazaar) di Chang Klan Road.
SWS terletak di Wualai Road, tidak jauh dari batas selatan kawasan bekas kota tua Lanna. Saat tidak digelar pasar, Wualai Road dibuka untuk lalu lintas kendaraan, dan mulai ditutup setiap Sabtu pukul 4.30 sore hingga larut malam.
“Walau tidak pernah diresmikan secara khusus, tempat ini memang sepertinya ditujukan bagi warga lokal,” Alex menjelaskan. Malam hari, seniman pasar menjalankan aksinya. Seorang anak kecil dengan mengenakan pakaian suku perbukitan di utara berlenggak-lenggok mengikuti suara musik yang riuh dari sebuah radio tua. Serombongan musisi tunanetra memainkan alat musik gitar, biola, kendang, dan kecrekan, menyanyikan lagu berbahasa Thailand.
Bukan hanya warga Chiang Mai selatan yang mendatangi SWS, warga di utara pun tidak mau ketinggalan. Banyat, misalnya, datang dari Huay Kaew. Pria paruh baya berpenampilan sederhana ini membawa anak dan istrinya ke SWS, padahal belum tahu mau membeli apa.
“Saya rasa kebanyakan dari kami datang ke sini bukan hanya untuk berbelanja. Saya suka suasana kebersamaan di pasar ini,” ujarnya dengan setengah berteriak karena ramainya pasar.
Penjelasan Banyat, dan warga Chiang Mai lainnya yang saya temui di Pasar Warorot, pada akhirnya seperti menyimpulkan bahwa pasar di Chiang Mai, bukan hanya penting untuk aktivitas ekonomi, melainkan juga pemersatu keanekaragaman kultur dan keyakinan: modal berharga bagi keberlanjutan sebuah peradaban. Bagaimana dengan pasar kita?
*Artikel ini merupakan bagian dari Feature Chiang-Mai yang diterbitkan National Geographic Traveler edisi Maret 2011.