JIKALAU MASA MUDA WONGSODINOMO tidak turut kakeknya sebagai abdi dalem Keraton Surakarta, barangkali roti empuk yang membawa nama sebuah dusun di Sukoharjo itu tak akan pernah ada.
Wongsodinomo lahir pada 1884 di desa Keblukan, Wonogiri, Jawa Tengah. Dia merupakan salah satu juru masak Keraton Kasunanan Surakarta. Suatu waktu pada 1918, dia membeli sebidang tanah di Widoro, sebuah dusun di Sukoharjo nun jauh dari hiruk pikuknya perkotaan.
Hasil jerih payahnya sebagai juru masak di Keraton Surakarta kini berbuah sudah. Wongsodinomo dan keluarga pun hijrah dari kawasan Kota Surakarta ke Dusun Widoro. Dia pun ditunjuk menjadi Kebayan, aparat setingkat kepala dusun. Empat tahun berselang, pada 1922 dimulailah pembuatan roti kecil-kecilan berbekal pengetahuan resep kue-kue keraton. Pada saat itu memang sudah ada beberapa pabrik kue di Pecinan Surakarta, seperti Roti Babah Setoe dan Roti Loewes. Sayangnya, daerah jangkauan pabrik-pabrik roti itu sebatas dalam kota saja.
Selayang pandang, tidak ada yang istimewa dari Dusun Widoro yang dibelah perlintasan jalan raya Sukoharjo-Wonogiri. Namun, di dusun inilah legenda perusahaan keluarga “Roti Widoro 1922” yang dirintis Wongsodinomo berdiri dan menghidupi keturunannya hingga kini.
Roti Widoro telah menjadi perusahaan roti pertama di Kota Sukoharjo. Kala 1950-an, orang-orang menyebutnya dengan roti gede” karena kehadiran roti ini selalu menyertai acara penyambutan tamu terhormat, misal untuk camat atau wedana. Bahkan, membeli roti sejumlah 50 buah pun sudah dianggap mewah untuk ukuran waktu itu.
Setelah Wongsodinomo wafat pada 1975, perusahaan roti dilanjutkan Tamtinah bersama keluarga besarnya. Sebagai cucu yang ditunjuk langsung oleh sang kakek sebagai pewaris resep, Tamtinah tak henti-hentinya bersyukur mendapatkan warisan yang mencukupi kebutuhan seluruh keluarga.
Sejatinya Tamtinah adalah cucu yang dianggap sebagai anak kesayangan oleh Wongsodinomo. Kini, Tamtinah dan suaminya, Soepardji, dikarunia dua anak yang turut membantu bisnis keluarga ini.
PERJALANAN KISAH ROTI WIDORO pun tak selalu sewangi rotinya. Pabrik roti sempat kekurangan bahan baku ketika Jepang menduduki ke pedalaman desa pada 1942. Setelah Indonesia merdeka, pabrik kembali terhenti karena agresi militer Belanda yang mendera negeri ini pada pertengahan 1947 dan akhir 1948.
Setelah huru-hara politik dalam negeri, periode 1970-80 merupakan zaman keemasan Roti Widoro. Permintaan roti meningkat dibanding dekade sebelumnya. Seringkali order melebihi kapasitas produksi, sehingga karyawan bekerja hampir 24 jam.
Namun, pada dekade berikutnya setelah bahan-bahan impor seperti pengawet dan pengembang makanan masuk ke pasar tradisional, Roti Widoro kembali terpukul. Belum lagi, beberapa saudara Tamtinah memutuskan membuat pabrik roti sendiri di Widoro.
Mulai tahun 1990-an sampai sekarang sepertinya orang melirik Roti Widoro lagi karena kualitasnya, bahkan kini dikemas khusus untuk souvenir resepsi pernikahan. Menurut Tamtinah, Roti Widoro bisa bertahan di masa-masa sulit karena inspirasi filosofi Jawa, “Wong ngeki ojo wedi kelangan”. Maksudnya memberi sesuatu ke orang lain dengan ikhlas, jangan takut kehilangan.
Filosofi dari orang tuanya itulah yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya. Untuk mengenang Wongsodinomo, sang kakek pendiri Roti Widoro, keluarga masih menyimpan warisan foto-foto kesibukan pabrik dan alat pembuatan roti tempo dulu. Salah satu alat yang ditunjukkan kepada kami adalah “patiman”, semacam bejana porselen yang digunakan untuk mengaduk adonan.