Menyelisik Pendidikan Perempuan di Taman Siswa Awal Abad ke-20

By Galih Pranata, Selasa, 24 Agustus 2021 | 10:00 WIB
Ibu Soerjoadipoetro dalam penyelenggaraan pendidikan perempuan di sekolah Taman Siswa, Yogyakarta. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id - Perempuan Indonesia terkesan anggun dengan tabiatnya yang halus dan sopan. Mereka lahir dari pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, melalui sekolah Taman Siswa. Sekolah tersebut menyelenggarakan pendidikan khusus anak perempuan. Lantas, seberapa pentingkah pendidikan bagi anak perempuan?

Mengutip karya Ni Soelasmi pada bukunya berjudul Pendidikan Anak-Anak, terbitan 1933 dalam Pendidikan Anak Perempuan Masa Hindia Belanda, menjelaskan bahwa,"Anak perempuan belajar dari laki-laki untuk dapat hidup berani dan bersahaja". Kirsten Kamphius yang merupakan pembicara dalam seminar di UGM pada 2017, mengungkapkan bahwa Taman Siswa memiliki peranan penting sebagai pondasi bagi lahirnya pendidikan pribumi, utamanya bagi anak-anak, generasi penerus bangsa.

Uniknya, tak hanya menerapkan pola pembelajaran modern pada umumnya, Taman Siswa juga mengajarkan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Taman Siswa menjadi keluarga bagi anak-anak di era 1890-an. Mereka diajarkan dan dipersiapkan mentalnya untuk membentuk figur wanita yang ideal, sebagai kodratnya dan pondasi utama kelak saat menjadi seorang ibu.

Seni cukil kayu karya Joris Johannes Christiaan Lebeau, 1919. ( Joris Johannes Christiaan Lebeau/KITLV)

Bagi Taman Siswa, perempuan memiliki arti yang sangat istimewa, berpangkal pada kodratnya. Perempuan sebagai wadah bagi keturunan dan yang membentuk karakter bagi anak-anaknya kelak. Yuliati dalam risetnya berjudul Konsep Pendidikan Perempuan di Taman Siswa, publikasi tahun 2016, menjelaskan tentang pengajaran khusus bagi anak-anak perempuan di sekolah Taman Siswa.

"Ki Hajar Dewantara (pendiri sekolah Taman Siswa) memikirkan konsep yang tepat dalam pendidikan perempuan, berpangkal pada kodartnya" tulisnya. "Ia tak menggandeng cara-cara modern Eropa dan tak terikat juga pada pendidikan konservatif, hanya mengaitkan pada kecocokan bagi kodrat perempuan" tambah Yuliati.

Perempuan berbeda dengan laki-laki, mereka lebih peka tehadap rasa, kehalusan budi, cinta kasih, serta perbedaan tingkah laku, rasa malu dan sikap susilanya. Inilah yang menjadi dasar pengambilan sikap Taman Siswa dalam mendidik anak-anak perempuan. Ki Hajar Dewantara menanamkan pribadi yang mulia bagi perempuan, melalui penanaman nilai moral, begitu juga dengan sikap perempuan dalam bekerja.

Baca Juga: Tiga Ajaran Penting dari Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia

Duduk dari kiri ke kanan: Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. E.F.E. Douwes Dekker, R.M. Soewardi Soerjaningrat; Berdiri dari kiri ke kanan: F. Berding, G.L. Topée en J. Vermaesen. Foto berdasar arsip foto tahun 1913 koleksi KITLV. Olah warna digital dengan kecerdasan buatan dari colourise.sg. (KITLV)

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam jurnal yang ditulis Yuliati, "Bagi perempuan Indonesia, mereka akan mendapat pekerjaan sesuai pada kodratnya, menjadi bidan atau pengasuh anak karena rasa cinta kasihnya" tulisnya. Berbeda dengan perempuan di Eropa, dalam ranah bisnis, perempuan dianggap sebagai medan magnet. Ia dijadikan pancingan untuk menarik konsumen, dan tak sedikit bagi pada konsumen yang berlaku diluar batas wajar dalam memperlakukan perempuan.

Ki Hajar Dewantara juga telah memikirkan konsep perempuan sebagai seorang pendidik. "Semua perempuan adalah guru (pendidik) bagi keturunannya". Taman Siswa menjunjung tinggi moral bagi perempuan dalam menjaga diri, serta menanamkan tabiat halus dan kesopanan. Bagi perempuan Jawa, seorang ibu dituntut memiliki tabiat yang lembut dan penuh kasih, ini menjadi dasar pengambilan langkah dalam materi pendidikan perempuan.

Baca Juga: Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?

Potret organisasi perempuan pada era pergerakan Nasional. (KITLV)

 

Taman Siswa juga mengajarkan untuk membentuk Ko-Edukasi, atau pembelajaran yang menggabungkan siswa laki-laki dengan perempuan. Tujuannya adalah untuk saling mengambil pelajaran dari perbedaan sikap dan tingkah laku, baik secara lahir dan batin. Pembelajaran gender ini juga diatur oleh sekolah dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan. Dari sini juga, anak-anak perempuan belajar untuk menjaga dirinya, mawas diri dengan membatasi pergaulannya dengan siswa laki-laki.

Konsep-konsep yang diterapkan oleh Taman Siswa, sejatinya telah melekat pada sikap dan tindakan perempuan-perempuan Jawa di tahun 1890 hingga awal 1900-an. Kemudian, berkembang terus hingga menjadi identitas bagi perempuan-perempuan Indonesia hingga hari ini. Hal inilah yang kemudian membedakan antara perempuan Indonesia dengan perempuan di dunia Barat. 

Baca Juga: Koran Kuno tentang Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang