Pria yang bekerja di Desa Wisata Using Kemiren, Kecamatan Glagah, ini menuturkan bahasa suku Using juga terbilang unik, berbeda dengan bahasa Jawa. Agus mencontohkan: “’Apa ini’ diterjemahkan menjadi ‘paran iki’. Huruf terakhir ‘i’ diucapkan ‘ai’. Jadi, ucapannya: ‘paran ikai’.”
Pengucapan berbeda jika kata ‘iki’ berada di depan. “’Iki paran’ tetap diucapkan ‘iki paran’.” Ada penekanan khusus pada kata-kata yang berawal konsonan |B|, |D|, |G| dengan diberikan sisipan |Y|. “Contohnya, Banyuwangi diucapkan Byanyuwangai,” tuturnya.
Tradisi dan budaya Using masih terjaga hingga kini. Selain tari Grandrung yang telah lama tenar, ada juga tari Seblang. Ada dua tari Seblang: Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan. Tari Seblang Olehsari dipentaskan oleh perempuan yang masih perawan. “Meski mengaku gadis, tapi ternyata tidak pasti ketahuan,” Agus menguraikan. Tarian Seblang Olehsari dipentaskan selama tujuh hari berturut-turut dalam buaian kesurupan diiringi 28 tembang.
Sementara itu, Seblang Bakungan ditarikan perempuan yang telah menopause. Agus menyatakan bahwa Seblang berarti sebele ilang atau musnahlah semua bala, yang digelar dalam perayaan bersih desa.
Upacara rutin bersih desa atau idher bumi di Kemiren digelar pada hari kedua lebaran Idul Fitri. “Saat idher bumi berlangsung arak-arakan barong Kemiren,” ucap Agus. Barong Kemiren diperagakan dua orang: satu di depan dan satu di belakang. Barong Kemiren, papar Agus, merupakan metamorfosis kupu-kupu menjadi naga.
Syahdan, kesenian barong mengisahkan ikhtiar warga dalam membuka belantara untuk lahan pertanian. Saat membuka lahan baru itu, dipercaya penduduk menghadapi gangguan makhluk halus. Lantaran itulah, dalam pementasan selalu disisipkan pesan melestarikan hutan.