“Kita tidak mau dicatat dalam sejarah yang dibaca oleh anak cucu bahwa kita adalah pengecut,” ungkap Nanang Muni dengan lantang. Lelaki itu membiarkan rambut panjangnya tergerai, berkaos hitam bersimbol Surya Majapahit. Di dadanya tersemat emblem merah putih.
Sore itu, Nanang bersama empat sahabatnya datang ke ke Kantor Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) di Jl. Veteran I, Jakarta Pusat. Mereka merupakan seniman patung asal Trowulan yang tergabung dalam paguyuban Save Trowulan. Dia dan sahabatnya menyuarakan keprihatinannya atas pembangunan pabrik baja di kawasan itu yang telah mencoreng situs besar dan bersejarah negeri ini.
“Kami khawatir kalau pabrik ini sukses berdiri, akan banyak pabrik-pabrik lain yang berdiri menghancurkan tinggalan budaya Majapahit,” ujarnya dengan geram. Kemudian salah seorang dari mereka menyambung, “Dan kita tidak mau budaya kita hancur.”
“Permasalahan Trowulan memang kompleks,” ungkap Adrian Perkasa, Direktur Eksekutif BPPI dalam siaran pers, Rabu (9/10).
“Akhirnya kita menemukan kata kunci yang menggambarkan ketidaksinergian masing-masing pemangku kepentingan dalam pelestarian pusaka Trowulan: Kawasan ini telah diabaikan terlalu lama dan kini menderita.”Kawasan bekas Metropolitan Majapahit itu kini nyaris tak berbekas. Peradaban baru telah menelantarkan dan merusaknya. Menurut Adrian, Trowulan bukan hanya milik masyarakat Jawa Timur atau Jawa-Bali, tetapi juga milik kebanggaan masyarakat Indonesia.
“Bahkan Muhammad Yamin yang asal Sumatra pun menjadikan Trowulan sebagai raw model dalam nation building kita,” ungkap Adrian. “Sekarang mana buktinya?”
Atas keprihatinan itulah Adrian menginisiasi untuk mengajukan situs Trowulan Majapahit kepada World Monumument Fund (WMF) yang berkantor di bilangan Fifth Avenue, New York, Amerika Serikat, akhir 2012 silam.
Awalnya sangat sulit meyakinkan kawasan Trowulan ini kepada WMF, demikian tutur Adrian. Alasannya, berbagai situs yang selama ini masuk dalam kategori WMF merupakan situs monumen, sementara Trowulan mencakup situs kawasan seluas ribuan hektare.
Pada 8 Oktober 2013 pagi, waktu New York, WMF mengumumkan bahwa Trowulan dinyatakan sebagai situs pusaka yang terancam kehancuran dan masuk dalam senarai World Monument Watch 2014. Indonesia patut berbangga, selain Trowulan, terdapat dua situs lain yang juga turut dalam senarai tersebut: Perdesaan Ngada di Flores, dan Perdesaan Peceren dan Dokan di Sumatra Utara.
Tentu, dengan masuknya Trowulan dalam senarai World Monument Watch ini bukan akhir dari segalanya.
“Namun, ini langkah awal kita untuk menyatukan pemangku kepentingan: negara, masyarakat, dan dunia usaha,” ujar Adrian. “Ini momen yang terbaik.”
World Monument Watch merupakan program advokasi unggulan dari WMF. Program ini mengundang perhatian internasional terhadap pusaka budaya di seluruh dunia yang terancam oleh kekuatan alam, maupun dampak dari perubahan sosial, politik, dan ekonomi.
Meskipun demikian, “World Monument Watch bukan program hibah, dan pencantuman dalam senarai tersebut tidak menjamin sebuah pengajuan proyek mendapatkan pendanaan dari WMF,” demikian ungkap Direktur Riset dan Pendidikan WMF Erica Avrami, dalam surelnya kepada Adrian.
“Kami berharap penyertaan dalam World Monument Watch 2014 berdampak positif terhadap situs Anda, dan kami menantikan kerja sama dalam melindungi sumber busaya penting tersebut bagi generasi akan datang,” demikian tulis Erica.
Lalu, apa yang kita lakukan terhadap repihan Majapahit di Trowulan setelah mendapatkan gelar situs pusaka yang terancam kehancurannya?
“Kadang-kadang persepsi kita saat suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya adalah semua masyarakat harus dipindahkan,” ujar Adrian. “Padahal solusinya tidak harus seperti itu.” Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya membangun partisipasi warga setempat dalam pelestarian.
“Pemagaran situs yang awalnya baik untuk melindungi situs, justru sekarang memisahkan antara situs dengan warga,” kata Adrian.
Adrian pun menyadari bahwa masyarakat setempat sudah lama dibiarkan dan tidak diikutsertakan dalam pelestarian situs. Dan kini, BPPI mencoba untuk kembali menyentuh aspek sosial, budaya, dan ekonomi warga untuk turut melestarikan tinggalan Majapahit di Trowulan. “Di sana ada banyak pembuat pabrik batu bata yang tentunya kita tidak semena-semena menghentikan usaha mereka.”Program heritage-mapping dari BPPI merupakan salah satu langkah awal dalam program penyelamatan situs Trowulan. Program ini seperti proyek pembuatan peta hijau kota, namun lebih memfokuskan sisi tinggalan pusaka yang sifatnya berwujud, maupun yang tak berwujud, termasuk mendokumentasikan situs-situs yang telah lenyap. Tujuannya, untuk pendidikan dan penyadaran bagi masyarakat, terutama generasi muda. “Ini merupakan langkah kecil yang belum pernah dilakukan sebelumnya,” kata Adrian. “Kalau ada yang bertanya mau dibawa ke mana, yang jelas ini peluru.”
Dia berharap, apabila ayah, ibu, kakek, dan nenek mereka hidup dalam rezim pemagaran—terpisahnya hubungan situs dan warga—generasi Trowulan saat ini turut menjadi bagian dalam pelestarian situs. “Kelak mereka menghitung bukan per meter harganya berapa,” ujar Adrian, “melainkan per meter apa yang bisa kita lakukan.”