Saya menjadi tamu Unertl saat makan siang di sebuah restoran antik yang terletak tak jauh. Dari pengamatan saya, makanan yang ada teramat lezat atau sungguh tidak enak. Di sini, kategorinya adalah: seperiuk sosis putih rebus yang dimakan bersama roti pretzel dan saus mustar—dan satu hingga dua gelas bir weiss Unertl yang nikmat; keruh, berwarna keemasan, beraroma tajam, dan saya sudah mengetahui bahwa saya akan merindukan bir ini sepanjang hidup saya. “Jika Anda tidak mencicipi Unertl, Anda akan menyesal,” pernyataan inilah yang tertera di labelnya. Saya bisa saja berkeliling Bavaria dan membeli celana dari kulit khas, atau boneka pajangan Hummel. Namun bir gandum Unertl tetap ada di sini—hanya di sini.
Sekarang ziarah bir saya berbalik ke arah tenggara menuju Burghausen, tepat di seberang Austria. Kota ini memiliki Sungai Salzach, danau kecil, dan kastil terpanjang di Eropa (lebih dari satu km), yang memungkinkan dilakukannya jalan kaki santai saat matahari terbit dan terbenam. Seorang ahli sejarah setempat, Lotte Lahr, mengantar saya berkeliling kastil. Lalu kami berbincang sambil menikmati bir, kue, berganti bahasa dari Jerman ke Inggris, membahas masa lalu dan masa kini, peperangan hingga perdamaian. Suami Lahr, sekembalinya dari perang melawan di Rusia, kehilangan lengannya, lalu bekerja sebagai petugas keamanan hingga ajal menjemput. Ia tinggal di sebuah rumah nan asri, dan mengantar saya berkeliling “kebun kecilnya” yang akan membuat orang terpesona. Saat kami kemudian berpisah dan berpelukan, saya membaca tulisan pada bingkisan yang diberikannya, sebuah deskripsi tentang kastil yang kami kunjungi bersama. “Jangan sampai kamu melupakan Bahasa Jerman-mu,” tulisnya, “dan si tua Lotte Lahr.”
Pemberhentian selanjutnya, 20 menit masuk ke dalam Austria, adalah Gundertshausen, kota mungil dengan tempat pembuatan bir milik keluarga yang tak lekang waktu. Matthias Schnaitl—Matthias Schnaitl ke-empat yang menjalankan usaha ini—sangat memperhatikan tradisi. Setiap kali mengangkat gelas bir, ia melihat gambar wajah ibu, ayah, nenek, kakek, dan kakek buyutnya, yang semua tercetak di tatakan gelas bir produksi tempat ini. Suatu hari nanti gambar wajah Matthias juga akan tercetak di tatakan gelas ini, begitu pula putranya, Matthias V, yang mengikuti ayahnya membuka kunci kapel keluarga.
“Sebagai pemilik tempat pembuatan bir, yang juga mencakup kapel ini, hak dan tanggung jawab tertentu dianugerahkan kepada saya,” ujar Schnaitl. “Saya dapat menghapuskan dosa.”
“Oh, masa?”
“Dengan kondisi tertentu. Anda harus menyesali perbuatan Anda—itu yang pertama. Dan yang dilakukan bukanlah dosa besar seperti membunuh—itu yang kedua. Dan, ada kondisi yang ketiga.”
“Apa itu?”
“Penghapusan dosa hanya dapat dilakukan sambil minum bir.”
Setelah Gundertshausen, perjalanan saya semakin jauh ke selatan. Botol-botol bir yang saya kumpulkan berdenting beradu di bagasi mobil saat saya melewati tikungan-tikungan menanjak menuju pedesaan Austria. Di kota spa Bad Ischl, saya berhenti sejenak untuk menikmati kopi di Café Zaunere.
Perjalanan setengah jam lebih jauh membawa saya ke Altaussee. Saya sudah mendekati akhir rute ziarah bir ini, berkendara ke arah timur laut menuju perbatasan Ceko. Pemberhentian terakhir yang tidak ingin saya akhiri adalah Freistadt di utara Austria. Dalam kenangan saya tempat ini selamanya surga bir. Pada tahun 1777, 150 rumah diberi hak untuk memproduksi bir. Kemudian hak ini disatukan sebagai hak pembuatan bir komunal. Pemiliknya boleh silih berganti, tetapi kepemilikan tempat pembuatan bir ini tidak akan berubah. Bir produksi kota ini mendominasi pasar dan kedai, dan sebagian besar penduduk kota ini yang berjumlah sekitar 7.800 memiliki hubungan dengan tempat pembuatan bir.
“Wilayah kami kecil,” kata Hubert Harrer, sang manajer penjualan, “dan kami terus menjaga kedekatan dengan pelanggan, menawarkan kualitas dan pelayanan, dan upaya ini berjalan sangat sukses. Kami tidak menyajikan bir rasa stroberi, bir rasa lemon, bir tanpa alkohol, dan bir khusus untuk perempuan.”
Harrer tertawa terbahak-bahak saat berdiskusi tentang uji cicip minuman anggur dengan ahli pembuat bir Richard Grasmuck dan saya. “Para pembuat dan pencinta anggur terlalu serius,” kata Harrer. “Bir adalah kehidupan, kenikmatan dan kesenangan hidup. Bir adalah hidup itu sendiri. Anggur butuh ratusan penjelasan, sementara bir sudah berbicara dengan sendirinya.”
Pada Jumat di Freistadt, saya membawa botol, ember atau botol besar kosong ke tempat pembuatan bir Freistadt, mengisinya, dan pulang dengan membawa bir segar, roti renyah, sayuran, sosis. Dulu ayah dan paman saya pun melakukannya. Saya membawa seluruh produk, seluruh kenikmatan yang tidak ditemui di tempat-tempat lain. Kemenangan luar biasa!
Sebisa mungkin saya menjauhi bir yang dijual di pasar swalayan. Seperti kata pepatah, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri. Namun sayangnya, di rumah saya di Ohio tidak ada tempat seperti ini.
Ziarah bir berakhir. Saya menenggak habis botol demi botol cendera mata yang saya bawa dan bersulang untuk orang-orang menyenangkan yang membuat bir-bir ini. Pada akhirnya, saya mengangkat gelas sebagai tanda hormat untuk ayah saya dan bir-nya yang sudah lama pergi, seraya berkata, “Bir ini untukmu ayah.”
“Saya dapat menghapuskan dosa,” ujar pemilik tempat pembuatan bir yang juga pemilik kapel. “Namun hal ini hanya dapat dilakukan sambil minum bir.”
Tulisan ini dimuat di National Geographic Traveler edisi Juli 2011