Kota Sarat Gaya dan Gairah

By , Minggu, 13 Oktober 2013 | 12:30 WIB

Setelah 17 tahun di Irlandia—O’Shea pernah membantu urusan logistik untuk tur grup musik U2—ia kembali ke tanah kelahiran di Buenos Aires untuk menikah dengan produser musik berkebangsaan Inggris Tom Rixton. Mereka membuka Home Buenos Aires, hotel butik yang terletak beberapa blok dari sekolah dasarnya. Ia mengingatkan saya bahwa reputasi Buenos Aires sebagai tempat belanja murah tak berlaku lagi: “Nilainya terletak pada kualitas. Barang-barang murah akan rusak saat dicuci.”

Hal ini tidak berlaku pada kaos kaki yang kami incar di Hermanos Estebecorena. Kakak-beradik pendiri merek pakaian ini bukan berasal dari dunia fesyen. Alejo menekuni  desain industri, sementara Javier memilih fashion. Mereka men-transformasikan keahlian ini menjadi koleksi pakaian pria yang tak lekang waktu dan pe-nuh gaya, serta inovatif—antara lain mengubah jaket untuk bermain papan seluncur salju menjadi tas.

Sebagian besar toko pilihan O’Shea bukanlah fesyen kelas atas dan terletak di Palermo. “El Salvador merupakan  tempat berbelanja terbaik di Buenos Aires,” ia berkata. Di toko Casa de las Botas, mata saya terpaku pada sepatu bot berwarna cokelat krem terbuat dari kulit yang dijahit tangan dan sepatu bot gaya dengan aksen kulit emas. Sepatu bot untuk bermain polo—wajib punya di Argentina, ibu kota olahraga polo dunia. “Saya sendiri memiliki dua pasang sepatu bot berkuda yang saya dapat saat berusia 12 tahun,” kata O’Shea. “Kondisi sepatu saya masih sempurna. Para pembuat sepatu memberikan perhatian khusus pada proses calve—pengukuran penting untuk mendapatkan ukuran dan bentuk yang pas bagi setiap pelanggan.”

Untuk sepatu pria, O’Shea menyukai Calzados Correa, merujuk pepatah yang mengatakan, “Jika Anda ingin sukses, mulailah dari sepatu Anda.” Pembuat sepatu ini mengawali karirnya di tahun 1955 sebagai pelayan toko. Dalam sehari, toko milik Correa hanya memproduksi delapan pasang “sepatu tak lekang waktu.”

PEMANDANGAN

Politik merasuk ke dalam semua hal di kota ini. Karena itu, tidak ada tempat yang lebih sesuai untuk pertemuan saya dengan Martin Marimon daripada alun-alun yang terletak di hadapan istana kepresidenan Argentina: Plaza de Mayo.

Sejak masa Juan dan Evita Peron, para tokoh dan pimpinan negeri mengajak para pendukungnya untuk melakukan demonstrasi massa di Plaza de Mayo, yang menuai reputasi sebagai “plaza de protestas,” sebagaimana dikatakan Marimon dari Eternautas Tours, biro yang memperkerjakan ahli sejarah sebagai pemandu wisata.

Marimon memandu saya menyusuri Avenida de Mayo menuju Café Tortoni.Kafe tertua di Argentina dibangun pada tahun 1858. “Café Tortoni merupakan simbol elegansi kafe yang berperan penting dalam kehidupan kebudayaan Buenos Aires di era 1920-1930-an. Warisan ini juga melekat pada area yang terletak tak jauh, San Telmo, tempat lahirnya tarian tango.

Marimon melewatkan Caminito—daerah kantong di  permukiman pekerja kerah biru La Boca yang populer di kalangan turis—karena keburukan seleranya. “Daerah ini merupakan bauran semua idiom Argentina, dari Diego Maradona sampai Evita dan penduduk gaucho, tetapi tidak memberikan kesan yang sesungguhnya dari La Boca, yang pada tahun 1800-an merupakan dermaga utama kota kami.” Bentang Fundación Proa pun memikat turis.

Sebenarnya kesenian di Buenos Aires berkembang pesat. Di antara bangunan-bangunan dari batu bata daur ulang di Puerto Madero, “konversi ulang lain da-ri area tepi laut di mana investasi uang terlihat jelas,” kata Marimon saat kami lewat melintas, saya melihat karya menakjubkan arsitek Spanyol Santiago Calatrava, Puente de la Mujer, jembatan gantung untuk pejalan kaki yang melayang laksana harpa modern dengan sentuhan seni di atas perairan tempat kapal pesiar bersandar. Di sini juga, salah satu perempuan terkaya di Argentina mendirikan Coleccióne de Arte Amalia Lacroze de Fortabat, museum yang memfokuskan pada kesenian Argentina dan menempati bangunan baru dari kaca, besi, dan batu yang bersinar.

Di dekat lanskap subur Plaza General San Martin-lah, tempat pahlawan kemerdekaan Jose de San Martin melatih pasukannya, Marimon menghentikan saya tepat di depan Palacio Paz. “Inilah rumah pribadi terbesar yang pernah dibangun di Argentina,” ujar Marimon. “Bangsawan yang sangat kaya ini meniru istana-istana Prancis.” Kini berfungsi sebagai klub eksklusif para pejabat dan terbuka untuk tur, bangunan ini terasa bagaikan istana Versailles.

Tradisi kecintaan mendalam terhadap Prancis tumbuh subur di Recoleta. “Ini adalah salah satu makam yang paling banyak dikunjungi di dunia,” kata Marimon, “Cementario de la Recoleta, terkenal dengan ruang bawah tanahnya yang menyimpan jasad Evita Peron.” Makam-makam ini dihiasi obelisk dan simbol kekuasaan yang merupakan emblem republikan. Di Buenos Aires, bahkan yang sudah tiada pun menyuarakan aspirasi politik mereka.