Alur Napas Peradaban

By , Minggu, 13 Oktober 2013 | 13:00 WIB

Bagi saya, Anda, dan para penghuninya, mungkin Jakarta tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah kota. Jakarta adalah sebuah konsep dari bagaimana kita menghargai kesempatan, waktu, dan tenaga. Banyak dari kita lupa bagaimana cara menikmati Ibu Kota. Keindahannya terhalangi banyak hal. Bagi Jakarta dan tiap nyawa yang bertarung di dalamnya, setiap hari adalah perjuangan, setiap pagi adalah awal dari tantangan baru.

Hari itu, Jakarta tepat berusia 484 tahun. Tantangan saya adalah bangun pada pukul empat pagi, lalu menjemput tiga kawan asal Inggris, Helen Limbrey (22), Emily Barker (23), dan Guy Newell (24) di kediaman mereka. Tidak sampai lima menit menunggu, Helen dan Emily mengetuk kaca mobil dan saya kontan membukakan pintu. Guy menyusul beberapa menit kemudian. Ia menyapa saya dengan suara parau. Agaknya ia masih mengantuk. Saya mempersilakan dia untuk menyambung tidurnya, sembari saya melajukan mobil menuju ke tempat tujuan kami.

04.15 WIB.

Sebagian besar warga Jakarta mungkin baru terjaga, atau bahkan masih terlelap.Tetapi kami berempat sudah melintasi jalanan. Perjalanan ini diawali dari pertanyaan iseng saya kepada mereka tentang satu hal: Bagaimana mereka mengapresiasi Jakarta. Hal pertama yang mencuat dari benak saya adalah memperkenalkan citarasa Jakarta dari pasar-pasar tradisionalnya yang legendaris.

Kenapa pasar tradisional? Kenapa bukan mal-mal megah dan pusat perbelanjaannya? Kenapa bukan restoran-restoran elite dan gempita klab-klabnya? Orang-orang sudah lelah akan itu. Jakarta selalu menjelma, menyublim ke dalam dinamika yang ada di dalamnya. Pasar tradisional merupakan salah satu bagian Ibu Kota yang paling intim. Di dalamnya, Anda bisa temukan transaksi dan interaksi. Pasar tradisional mengupas identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Beberapa di antaranya merupakan bangunan tertua di Jakarta. Tanpa pasar, kota ini tidak akan pernah sama.

Ketiga kawan saya ini berprofesi sebagai guru di sebuah pusat institusi bahasa. Setelah mencocokkan waktu dengan jadwal mengajar mereka yang padat, akhirnya saya menemukan tanggal yang cocok. Saya akan membawa mereka ke tempat yang bahkan sebagian kalangan masyarakat tertentu di Jakarta mungkin belum pernah menyinggahinya.

Pagi masih sangat muda, dan kami sudah tiba di destinasi pertama. Pada tahun 1793, warga Batavia menamakannya Vincke Passer, lahir dari inisiatif Justinus Cornellis Vincke untuk mendirikan pasar di sekitar Istana Weltevreden—yang kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Hingga kini Anda mengenalnya dengan nama Pasar Senen. Langit masih gelap pekat, namun di hadapan kami terbentang tenda-tenda dengan warna kuning dominan menyiram mata. Saat itu subuh dan ratusan orang lewat berlalu-lalang, beraktivitas tanpa mengenal waktu. Dari semua kehebohan itu, hanya satu kata kuncinya: kue. Sebelum lebih masuk ke dalam area pasar, saya membekali pengetahuan dasar kepada Helen, Emily, dan Guy. “Ingat, kue-kue kecil biasanya seharga Rp800, yang sedang sekitar Rp1.000, camilan khusus biasanya seharga Rp5.000 dan kue yang besar paling mahal Rp30.000.”

05.57 WIB.

Saya bisa merasakan mimik wajah mereka berubah ketika di hadapan kami terhampar ratusan meja dan ratusan orang pula yang sibuk berlalu lalang dan teriak bersahutan menawarkan kue-kue. “Saya tidak menyangka akan sebesar ini,” kata Helen pada saya. Matanya yang indah membelalak keheranan. Mayoritas orang-orang yang mendatangi pasar kue subuh ini membeli kue, untuk dijual lagi di tempat lain. Kue kecil dengan harga satuan Rp 800, bisa didapatkan seharga Rp 400 apabila dibeli dalam jumlah banyak. Dari meja-meja kayu sederhana, kue-kue lezat ini akan menyebar ke berbagai tempat dan acara berbeda—mulai dari lamaran, ulang tahun, rapat-rapat kantor, hingga pengajian. Ketika pertama kali digagas pada tahun 1983, penjual kue di sini bisa dihitung dengan jari.Kini, terdata lebih dari 750 penjual kue yang selalu hadir setiap subuh.

Jangan suruh saya untuk menjelaskan satu persatu jenis kue apa saja yang ada di pasar ini, dari kue lapis, bolu, kue tart, bacang, sosis solo, semar mendem, pukis, lemper, berbagai macam kerupuk, juga gorengan. Dari ragam pilihan tersebut, kue lupislah yang membuat Emily jatuh cinta. “Teksturnya aneh, tetapi rasanya semakin menarik di detik-detik selanjutnya,” paparnya semangat. Guy yang sudah benar-benar “terbangun” dari tidurnya, tampak memperhatikan dengan seksama setiap kue yang dilewatinya. “Saya suka bagaimana mereka membuat kue-kue ini menjadi sangat berkarakter, mengkombinasikan bahan dasar, bentuk, ukuran dan juga warna. Persis seperti melihat Indonesia, melalui kulinernya.” Selaras dengan jenis kuliner lain di Indonesia, kue juga memuat unsur adat, etnis, dan kultur tertentu. Keunikan itu memberikan nilai tersendiri ke dalam asalnya, menyatu dengan identitas bangsa, dan memanjakan lidah Anda.

Akhirnya surya sudah memancar lugas ketika seorang ibu penjual jamu dengan ramah menawarkan beras kencur.Saya pesan empat untuk masing-masing dari kami.Saya tidak berkata apa-apa, takut merusak kejutannya. Setelah bersulang, kami menyesap beras kencur itu sambil memperhatikan mimik muka satu sama lain. Helen memberikan ekspresi bingung dan Guy berhenti menenggak, menyisakan gelasnya setengah terisi. Tak disangka, Emily mampu menghabiskan seluruh isi gelas.

Dari luar pasar, deru kendaraan bermotor mulai memenuhi telinga. Bagi mereka yang ingin tiba di kantor tanpa harus menempuh kemacetan lalu lintas— yang terkadang tidak logis—pilihan satu-satunya adalah mengakhiri tidur dengan lebih cepat untuk berangkat ke pusat aktivitas lebih pagi dari orang-orang lain. Sebelum menghadapi pekerjaan, para pengendara diharuskan “berpesta” dulu di jalan raya.

Bicara pesta, seiring dengan sinar matahari pagi yang makin benderang, satu persatu penjual kue di Pasar Senen mulai menutup dagangannya.Kami harus menyudahi “pesta kue di pagi buta” dan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikut.Kami melintasi jalur di mana Katedral dan Istiqlal berdiri berseberangan, dan mengambil jalur kiri di mana Gedung Kesenian Jakarta berdiri di sebelah kanan.Pasar Baru menyambut para pendatangnya dengan gerbang tua beraroma Tionghoa dari bata. Tertulis di atasnya “Passer Baroe–1820.”