Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda

By Galih Pranata, Kamis, 26 Agustus 2021 | 17:00 WIB
Potret seorang Nyai, 1867. Nyai menjadi cibiran dikalangan masyarakat pribumi. Layaknya seorang istri, nyai menjadi pelayan bagi pria Eropa tanpa adanya status pernikahan. (Jacobus Anthonie Meessen)

Nationalgeographic.co.id—Istilah Nyai mungkin masih menjadi tabu di masyarakat kita. Sejatinya istilah tersebut merujuk pada wanita pribumi yang tinggal bersama pria Belanda tanpa status pernikahan. Mengutip tulisan L.W.C. van den Berg dalam bukunya berjudul Orang Arab di Nusantara, terbitan tahun 2010, "Nyai adalah julukan bagi seorang wanita pribumi, kadangkala juga bagi wanita Cina atau Jepang, yang hidup bersama pria Eropa, Cina atau Arab, tanpa adanya status pernikahan". 

FX. Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya dalam jurnalnya berjudul Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret 'Nyai' Hindia Belanda, Abad XVII-XX, publikasi tahun 2014, menjelaskan tentang kehidupan 'Nyai' di era kolonialisme Belanda. "Dalam konteks historiografi kolonial, istilah Nyai cenderung negatif, karena tak adanya status pernikahan antara wanita pribumi dengan pria Belanda" tulisnya.

"Padahal, di Indonesia, Nyai memiliki makna yang beragam, mulai dari Nyai atau istri (nyonya) pengasuh pondok pesantren dari Kyai (gelar ulama di Jawa), Nyai di Kalimantan berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, atau juga Nyai di Jawa Barat yang merupakan sebutan umum untuk wanita dewasa" tambahnya.