Ilmuwan Temukan Gen Penyebab Penyakit Pengganggu Kesuburan Wanita

By Wawan Setiawan, Minggu, 29 Agustus 2021 | 17:00 WIB
Peneliti mengidentifikasi genetik penyebab endometriosis dan target obat potensial. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id - Endometriosis merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai oleh kaum wanita. Endometriosis adalah kondisi kronis dan menyakitkan di mana jaringan yang ada pada endometrium (rahim) tumbuh di luar rahim. Kondisi seperti ini tentunya sangat membahayakan dan dapat memengaruhi si penderita.

Meskipun perawatan melalui proses operasi dapat dilakukan, tetapi hal ini bisa menyebabkan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Untuk itu memerlukan cara dan penanganan yang lain. Wawasan berikut ini akan dapat membantu mengobati penyakit yang melemahkan ini.

Menurut para ilmuwan gabungan dari University of Oxford, University of Wisconsin-Madison, Baylor College of Medicine, dan Bayer AG, dalam studi baru mereka melaporkan bahwa penyebab genetik endometriosis telah diidentifikasi dan mereka akan mencari obat potensial untuk menyembuhkannya.

Baca Juga: Kajian Baru: Budaya Lebih Berperan dalam Evolusi Manusia daripada Gen

Para peneliti melakukan analisis genetik manusia dan kera rhesus untuk mengidentifikasi gen tertentu, NPSR1, yang meningkatkan risiko menderita endometriosis. Hasilnya mengungkapkan target obat nonhormonal baru yang potensial yang dapat mengarah pada terapi yang lebih baik. Hasil studi mereka tentang hal ini telah diterbitkan di Science Translational Medicine pada 25 Agustus 2021 yang berjudul ‘Neuropeptide S receptor 1 is a nonhormonal treatment target in endometriosis’.

Peradangan yang terjadi akibat endometriosis dapat merusak sel telur dan sperma. Kondisi ini tentunya mengganggu kesuburan dan dapat menghalangi terjadinya pembuahan. (Wikipedia)

Tim Oxford, yang dipimpin oleh Dr. Krina T. Zondervan, sebelumnya telah menemukan hubungan genetik dengan endometriosis pada kromosom 7p13-15 dengan menganalisis DNA dari keluarga yang mengandung setidaknya tiga wanita yang didiagnosis dengan endometriosis. Tim Baylor, yang dipimpin oleh Dr. Jeffrey Rogers, telah memverifikasi hubungan genetik ini dalam DNA monyet rhesus dengan endometriosis spontan di Pusat Penelitian Primata Nasional Wisconsin di Universitas Wisconsin-Madison. Validasi ini membenarkan penelitian lebih lanjut melalui analisis sekuensing mendalam dari keluarga endometriosis di Oxford, yang mempersempit penyebab genetik menjadi varian langka pada gen NPSR1.

Dilansir dari Techexplorist.com, Jeffrey Rogers, associate professor di Human Genome Sequencing Center di Baylor, mengatakan, “Ini merupakan salah satu contoh pertama dari sekuensing DNA pada primata bukan manusia, dalam upaya untuk memvalidasi hasil dalam studi manusia dan yang pertama membuat dampak signifikan dalam memahami genetika umum dari penyakit metabolik kompleks. Penelitian primata sangatlah membantu memberikan keyakinan pada setiap langkah analisis genetik pada manusia dan memberi kami motivasi untuk terus mengejar gen-gen khusus ini.”

Dalam mendukung penelitian ini, ilmuwan telah melibatkan sebanyak 11.000 wanita, termasuk di dalamnya pasien yang menderita endometriosis dan wanita yang sehat. Ternyata, mereka menemukan adanya varian umum spesifik pada gen NPSR1 yang terkait dengan endometriosis stadium III/IV.

Pada wanita dengan endometriosis, jaringan yang mirip dengan lapisan rahim ditemukan di luar rahim, menyebabkan rasa sakit dan infertilitas. (Nikodash/Shutterstock)

Untuk memblokir sinyal protein gen tersebut, ilmuwan memakai inhibitor NPSR1 dalam pengujian selulernya. Cara ini ternyata dapat mengurangi peradangan dan sakit perut pada si penderita. Sehingga para peneliti menyimpulkan bahwa penelitian di masa depan akan dapat menentukan target pengobatan endometriosis.

Baca Juga: Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang

“Ini merupakan suatu perkembangan baru yang menarik dalam pencarian kami untuk pengobatan baru endometriosis, penyakit yang melemahkan dan kurang dikenal oleh banyak orang yang sudah memengaruhi 190 juta wanita di seluruh dunia. Kami juga perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme aksi dan peran varian genetik dalam modulasi efek gen pada jaringan tertentu ini,” kata Krina Zondervan, profesor epidemiologi reproduksi dan genomik tim Oxford.

“Namun, kami memiliki target nonhormonal baru yang menjanjikan untuk penyelidikan dan pengembangan lebih lanjut, tampaknya cara ini dapat mengatasi komponen inflamasi dan nyeri penyakit secara langsung,” pungkasnya.

Semoga saja, penelitian lebih lanjut benar-benar akan dapat memperoleh obat yang potensial untuk penyakit ini.