Kisah Anak Berkulit Serapuh Sayap Kupu-Kupu

By , Senin, 11 November 2013 | 14:37 WIB

Tak ada yang aneh saat Jacqueline Koplean mengandung anak perempuannya yang bernama Rafaella. Namun dua pekan setelah melahirkan, Koplean dan suaminya harus menghadapi kenyataan bahwa sang buah hati menderita penyakit Epidermolysis Bullosa (EB).

Akibat penyakit ini, Rafi—panggilan akrab Rafaella—seperti kehilangan kulit pada kedua kaki dan salah satu punggung tangannya. Enam jam setelah kelahiran, Rafi dibawa ke unit neonatal intensive care unit (NICU) di Roosevelt Hospital, Manhattan, akibat ruam dan lepuh yang diderita. Kondisi ini semakin parah keesokan harinya.

Rafi menghabiskan 35 hari di rumah sakit dan menjalani biopsi kulit. Hasilnya diketahui bahwa Rafi kekurangan protein kolagen 7, yang merupakan indikasi EB. EB adalah gangguan akibat kondisi genetik, hingga tubuh tidak bisa memproduksi cukup kolagen.

"Saya sangat kaget mengetahui kondisi ini. Kami tahu Rafi akan menjalani hidup yang sebentar dan menyakitkan. Kami tidak tahu sampai kapan dia hidup," kata ayah Rafi, Brett Koplean.

EB merupakan penyakit akibat tiga gangguan genetik, yang mengakibatkan mutasi gen penyusun protein kolagen 7. Penderitanya memiliki satu gejala penting, yaitu kulit sangat rapuh yang mengakibatkannya mudah luka atau melepuh.

Akibat mutasi ini, tubuh menghalangi produksi alami protein kolagen pada tubuh. Padahal, kolagen berperan penting untuk menyambungkan berbagai jaringan pada spesies mamalia.

"Kolagen berfungsi seperti lem. Dua lapisan utama pada kulit, yaitu dermis dan epidermis, dilekatkan dengan kolagen. Bila tidak memiliki kolagen, maka lapisan permukaan kulit akan menghilang. Kondisi inilah yang dialami anak dengan EB," kata dr Jakub Tolar, Direktur University of Minnesota Stem Cell Institute dan peneliti pada Department of Pediatrics di University of Manhattan.

Karena kulitnya yang rapuh, anak dengan EB kerap disebut kupu-kupu, yang merujuk pada rapuhnya sayap hewan cantik tersebut. EB hanya terjadi pada 1 dari 20.000 kelahiran anak. Tolar mengatakan, gejalanya bisa ringan hingga parah. Pada kondisi parah, kesulitan akibat EB terjadi tepat seusai kelahiran. Penderita EB akan menderita sakit dan tidak nyaman karena luka yang parah.

Selain sakit, luka tersebut juga gatal sehingga anak cenderung menggaruknya. Padahal, menggaruk akan mengakibatkan luka yang makin parah. Anak dengan EB harus dibungkus perban khusus yang diganti setiap hari.

Tidak hanya luar, penyakit EB juga memengaruhi kondisi dalam tubuh. "Anak dengan EB memiliki luka yang sama pada kulit di bagian atas esofagus. Oleh karenanya, mereka cenderung kehilangan lapisan yang menghubungkan mulut dan esofagus. Akibatnya, anak dengan EB tidak bisa makan dengan baik," kata Tolar.

Kondisi ini mengharuskan anak dengan EB menggunakan gastric tube sehingga bisa mengasup nutrisi dasar untuk tubuhnya. Anak dengan EB juga menderita kurang darah dan infeksi lain, akibat tidak bisa makan dengan baik.

Penderita EB yang bertahan hingga remaja biasanya menjadi pengguna kursi roda. Rapuhnya struktur tulang di bawah kulitnya menyebabkan mereka tidak bisa jalan. Ketika luka semakin parah, penderita EB berisiko menderita kanker kulit agresif.

Menghadapi kondisi ini, pasangan Koplean memutuskan tidak menyerah. Rafi kemudian menjalani operasi transplantasi sumsum tulang. Operasi ini akan dilakukan Tolar, yang pernah melakukan operasi ini sebulan sebelumnya.