Apa yang sudah diketahui tentang Sumatra, bumi tempat cerita Malin Kundang lahir?
Kita sudah tahu bahwa pulau terbesar keenam di dunia itu rawan gempa. Ada patahan sepanjang lebih dari 1.000 km yang aktivitasnya siap mengguncang wilayah sekitarnya. Di lepas pantai, terdapat zona subduksi pemicu gempa dahsyat bermagnitudo 9,1 yang mengakibatkan tsunami mematikan di Aceh pada tahun 2004.
Namun, tak banyak orang yang tahu tentang bagaimana Sumatra terbentuk. Apakah kampung halaman orang Batak dan Minang itu dari dulu memang cuma satu keping daratan saja?
Sebelumnya, Sumatra dianggap tepian benua Eurasia. Di lepas pantai bagian barat Sumatra, terdapat zona subduksi tempat bertemunya lempeng samudra Indo-Australia dengan lempeng benua Eurasia. Berdasarkan anggapan tersebut, Sumatra pun dianggap sejak dahulu merupakan satu pulau.
Tetapi, riset terbaru meragukan pandangan lama itu. Menurut data geokimia yang dikumpulkan oleh peneliti geologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, Sumatra dulu pulau-pulau yang terpisah, setidaknya ibarat dua bagian daratan yang menyatu.
"Sumatra bukan sepenuhnya bagian dari lempeng benua Eurasia," kata Iskandar dalam orasi pengukuhan dirinya sebagai guru besar riset Agustus 2013 lalu.
Berdasarkan hasil analisis geokimia, wilayah Sumatra terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian barat yang merupakan busur kepulauan, bagian timur yang merupakan zona tepian lempeng Eurasia serta wilayah antarlempeng benua.
Di Bengkulu, wilayah yang merupakan bagian dari busur kepulauan adalah kota Bengkulu. Sementara, wilayah yang merupakan tepian Eurasia antara lain Lebok Tambang, dekat Muara Aman.
Kota lain di Sumatra yang diduga merupakan bagian dari busur kepulauan adalah Padang. Sementara, kota yang diduga merupakan bagian tepian Eurasia adalah Jambi, Pekanbaru, dan Palembang.
"Batasnya adalah sesar Sumatra," ucap Iskandar.
Untuk mengungkap asal-usul Sumatra itu, Iskandar mengumpulkan batuan volkanik dan intrusif di sepanjang Sumatra, diantaranya dari wilayah Lampung, Bengkulu, dan Madina, Sumatra Utara.
Puluhan batuan didapatkan, diantaranya 30 batu volkanik dari Lampung dan 40 batu volkanik dari Bengkulu. Kandungan kimia batuan, termasuk unsur utama (major elements), unsur jejak (trace elements), dan unsur jarang (rare elements) kemudian dilihat.
"Yang kita lihat terutama adalah unsur jejak dan unsur jarang. Kandungan unsur jejak dan unsur jarang pada batuan di busur kepulauan dan lempeng benua berbeda," jelas Iskandar.
Kandungan unsur batuan memang bisa menjadi indikasi asal-usul batuan tersebut, pada lingkungan seperti apa batuan terbentuk. Batu volkanik yang berasal dari lingkungan busur kepulauan memiliki kandungan Potassium, Ytterbium, dan Tantalum lebih tinggi namun Fosfat, Titanium, dan Strontium lebih rendah.
Data unsur dalam batuan yang didapatkan kemudian disusun dalam beberapa diagram, antara lain dalam diagram unsur Tantalum/Ytterbium vs Cerium/Fosfat dan Tantalum/Ytterbium vs Ytterbium. Plot dalam diagram akan menunjukkan sebuah pola.
"Pola yang terlihat menunjukkan asal-usul batuan," kata Iskandar.
Di Lampung , wilayah busur kepulauan ditandai dengan rasio Tantalum/Ytterbium kurang dari 2 dan Cerium/Fosfat kurang dari 1,8. Sementara, wilayah tepian benua punya rasio Tantalum/Ytterbium antara 2 hingga 4 dan Cerium/Fosfat lebih dari 1,8. Wilayah antarlempeng memiliki tasium Tantalum/Ytterbium lebh besar dari 6 dan Cerium/Fosfat lebih bersar dari 1.
Iskandar belum mengetahui asal busur kepulauan tersebut dan kapan busur kepulauan menyatu dengan Sumatra. Namun, ia memerkirakan, bersatunya busur kepulauan dengan lempeng benua Eurasia terjadi lebih dari 25 juta tahun lalu, lebih tua dari masa Miocene.
Tiga versi sejarah Sumatra
Geolog Awang Harun Satyana mengungkapkan, pandangan bahwa Sumatra tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Eurasia sudah berkembang lama. Pada tahun 1984, N.R. Cameroon dari British Geological Survey A. Pulunggono dari Pertamina pernah menyampaikan gagasan itu.
Awang mengatakan, berdasarkan gagasan itu, bagian barat Sumatra disusun oleh busur Woyla. Busur lautan itu sekitar 150 juta tahun lalu berlokasi di dekat Australia, bersama daratan India dan Banda. Karena pergerakan tektonik, busur itu kemudian menyatu dengan Sumatra.
"Itu terjadi pada zaman Kapur tengah, sekitar 100 - 80 juta tahun lalu," kata Awang saat dihubungi Kompas.com beberapa waktu lalu.
Makalah yang ditulis oleh Robert Hall, pakar tektonik Asia Tenggara ternama dari University of London, berjudul "Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean" sedikit membahas gagasan tentang bersatu atau naiknya busur Woyla dengan atau ke atas daratan Sumatra.
Pulunggono dan Cameroon, seperti dikutip Hall dalam makalahnya yang diterbitkan Elseveir tahun 2012, mengungkapkan bahwa busur Woyla yang naik ke Sumatra mencakup mikro-kontinen.
Geolog lain, M.R. Wajzer dan A.J. Barber, juga dari University of London, mengatakan bahwa busur Woyla merupakan busur intra-lautan yang terbentuk pada zaman Kapur Awal dan kemudian menumbuk Sumatra.
Hall sendiri menganggap bahwa terdapat mikro kontinen yang menabrak Sumatra pada zaman Kapur itu, yang ditandai dengan naiknya busur Woyla ke atas Sumatra. Mikro kontinen terus bergerak ke timur sehingga menghentikan sistem penunjaman yang ada dan akibatnya hampir tak ada aktivitas vulkanik pada saat itu.
Namun, menurut Iskandar, apa yang diungkapkan oleh Pulunggono, Cameroon, Barber, dan Hall sama sekali tidak menyebut adanya bagian Sumatra yang merupakan busur kepulauan.
"Mereka bicara pada Zaman Kapur (sekitar 100 juta tahun yang lalu) karena Woyla Group itu memang usianya sangat tua, sedangkan data saya berasal dari batuan volkanik berusia Miosen (kurang dari 25 juta tahun yang lalu)."
Rovicky Dwi Putrohari dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengungkapkan, gagasan bahwa Sumatra terdiri atas busur kepulauan pernah berkembang sebelumnya. Namun, penelitian Iskandar adalah salah satu yang paling awal memberi bukti ilmiah.
"Penelitian ini memberi bukti geokimia bahwa memang bagian barat Sumatra adalah busur kepulauan," katanya.
Menurut Rovicky, ada tiga versi sejarah geologi pembentukan Sumatra yang berkembang saat ini. Versi pertama mengungkapkan bahwa pulau Sumatra sepenuhnya bagian dari tepi lempeng benua Eurasia. Versi kedua, seperti yang diyakini Pulunggono, Cameroon, dan Hall, Sumatra terbagi atas lempeng benua Eurasia di bagian timur dan mikro-kontinen di bagian barat.
Sementara, dengan tambahan gagasan Iskandar, ada versi ketiga, dimana Sumatra terdiri dari tepi lempeng benua di bagian timur dan busur kepulauan di bagian barat.
Mana yang benar?
Rovicky mengungkapkan, banyak geolog saat ini memandang bahwa Sumatra merupakan lempeng benua Eurasia hanya untuk mempermudah saja.
Pada dasarnya, geolog setuju bahwa Sumatra tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Eurasia. Namun, komponen lain Sumatra dan pembentukannya masih menjadi perdebatan.
Apa pentingnya sejarah Sumatra?
Iskandar mengungkapkan, pengetahuan tentang asal-usul Sumatra penting baik bagi kebencanaan maupun dalam bidang mineralogi.
Menurut Iskandar, bila Sumatra memang terdiri atas busur kepulauan dan lempeng benua Eurasia, gagasan itu juga harus diadaptasi dalam kebencanaan.
"Kalau berasal dari busur kepulauan yang merupakan samudera dan lempeng benua atau kontinen, maka pergerakan lempeng lebih fleksibel sehingga potensi gempa lebih besar," katanya.
Rovicky menuturkan, potensi gempa juga akan lebih besar bila bagian barat Sumatra tersusun atas mikro-kontinen.
"Akan lebih rapuh," paparnya.
Dalam bidang mineralogi, Iskandar mengatakan, gagasan baru pembentukan Sumatra ini juga akan memengaruhi pengetahuan tentang penyebaran logam di Sumatra. "Wilayah timur Sumatra mungkin juga menyimpan logam berharga," kata Iskandar.