Pada awal abad ke-20, usaha penerbitan—terutama dalam masyarakat peranakan Cina—memang masih didominasi para lelaki. Nasib jurnalis perempuan pun kerap dipandang sebelah mata.
Penerbitan media perempuan memang sudah muncul pada 1930-an. Namun, saat itu belum ada majalah yang mengkhususkan pada segmen perempuan Cina peranakan di Indonesia, Istri adalah yang pertama.
Soal pemakaian bahasa Melayu-Tionghoa, Nyonya Tjoa juga berdalih, tujuan utama majalah ini terbit untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan bagi perempuan Cina peranakan supaya lebih maju. Meskipun demikian, dia punya tujuan lain untuk turut membangkitkan sikap perempuan Cina kelas atas yang selama ini terkesan apatis dalam membantu perempuan yang kurang beruntung.
Pada masa Nyonya Tjoa terdapat emansipasi perempuan kelas menengah atas dan emansipasi perempuan kelas bawah, demikian papar Agni Malagina dalam surat elektroniknya kepada National Geographic. Dia merupakan sinolog dari Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
“Perempuan kelas menengah atas memperjuangkan kebebasan pendidikan, pekerjaan, kemandirian keuangan, dan kebebasan berinteraksi dengan lawan jenis.” Kemudian Agni melanjutkan, “Nah, kalau emansipasi perempuan kelas bawah yaitu perjuangan kebebasan dari diskriminasi dan kemiskinan. Mereka ini pun berjuang dibantu dan didorong oleh perempuan kelas menengah yang berpendidikan tinggi.”