Serunya "Blusukan" di Desa Bayan

By , Jumat, 22 November 2013 | 21:35 WIB
()

Pagi itu (19/11) terlihat kesibukan di Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Beberapa pemuda berkumpul di kantor desa untuk menggelar hajat: uji coba trip wisata ke tempat-tempat yang dianggap menarik di desa mereka.

Dalam hajatan ini hadir pula para tamu yang tak lain para penggiat wisata dan wisatawan di sekitar Desa Senaru dan Bayan yang berada di kaki Gunung Rinjani. “Uji coba trip ini untuk mengetahui sejauh mana kesiapan warga desa mengelola trip wisata yang mereka adakan,“ jelas Endro Catur, konsultan pariwisata yang selama ini membina warga desa.

Setelah para tamu berdatangan dimulailah trip wisata yang rencananya memakan waktu dua jam. Warga desa sekalian berlatih agar kelak menjadi pemandu wisata lokal yang profesional. Beberapa menit berjalan tampaknya calon pemandu lokal ini kebingungan harus menjelaskan apa. Warga desa masih malu-malu dan belum percaya diri untuk bicara di depan para tamu.

Suasana canggung kemudian pecah saat para tamu mulai mengomentari para calon pemandu lokal yang kurang aktif memandu. Maklum, para tamu adalah penggiat pariwisata. Salah seorang di antaranya adalah Katni, Ketua Organisasi Woman Guide Senaru, yang biasa membawa wisatawan mendaki Gunung Rinjani.

“Seharusnya sambil jalan menerangkan apa yang dilihat. Banyak yang bisa menjadi bahan panduan,” Katni mulai membagi pengalamannya. “Contohnya rumpun bambu itu. Apapun yang kita temui di jalan bisa menjadi bahan cerita untuk wisatawan.” Calon pemandu lokal pun manggut-manggut.

Sambil terus berjalan, para tamu mulai memberi masukan kepada warga desa bagaimana teknik memandu wisatawan. Tanpa terasa rombongan mulai memasuki hutan adat. Teman Katni dari Woman Guide Senaru, Resi, ikut memberi masukan. “Ini buah Dao,” katanya sambil memungut buah berwarna cokelat seukuran kelereng. “Buah ini bisa dimakan, rasanya manis-manis asam,” lanjutnya sambil memakan buah ini. Rombongan pun mengikuti Resi mencicipi buah itu, termasuk para warga desa yang memandu. Keadaan berbalik, para calon pemandu lokal malah dipandu para tamu yang memang berpengalaman dalam memandu wisatawan.

Para wisatawan menjajaki medan ekstem di hutan adat Desa Bayan, Lombok Utara. (Foto: Feri Latief)

Medan perjalanan semakin berat, naik turun di hutan yang licin, medan pun mulai ekstrem. Rombongan harus meniti pohon tumbang di atas sebuah sungai kecil. “Medannya menantang, tetapi untuk wisatawan ini terlalu ekstrem,” Katni mengomentari medan yang ditempuh.

Uji coba trip ini tujuannya memang meminta masukan dari para tamu apa kekurangan dan kelebihannya. “Uji trip ini untuk meminta masukan bagi para warga desa yang memandu agar memberikan yang terbaik bagi tamu jika nanti sudah dijual menjadi paket wisata,” begitu penjelasan Endro Catur yang menjadi pembina bagi warga desa.

Akhirnya setelah berjalan sekitar satu jam, sampailah mereka di mata air Mandala, yang menjadi tujuan utamanya. Mata air inilah yang menjadi sumber air bagi masyarakat Desa Bayan. Di sana sedang dibangun sebuah kolam besar untuk penampungan air. Ini adalah renovasi dari kolam tua yang sudah hancur. Selain jadi tempat penampungan air, kolam itu juga kelak bisa jadi tempat berendam bagi wisatawan.

Desa Bayan memang tertinggal jauh dalam bidang pariwisata dibandingkan Senaru, desa tetangganya. Industri pariwisata di Desa Senaru sudah berkembang sejak jauh hari. Senaru adalah salah satu gerbang wisatawan yang ingin mendaki Gunung Rinjani. Di Senaru pula wisatawan bisa mengunjungi beberapa air terjun. Bisnis penginapan dan agen perjalanan berkembang cepat.

“Desa Bayan ini akan kita kembangkan menjadi desa wisata seperti Senaru,” jelas Raden Mayanto, staf Dihubparkominfo Kabupaten Lombok Utara. Selama ini desa Bayan sudah menjadi tujuan wisata, tetapi hanya masjid kunonya. Oleh agen perjalanan yang menjual paket wisata ke Senaru, masjid kuno Bayan dimasukkan dalam tujuan wisatanya, selain air terjun dan mendaki Gunung Rinjani. Sekarang tujuan wisata di Desa Bayan akan dikembangkan lagi. “Kita programkan juga wisata kolam di hutan adat namanya Mandala,” lanjutnya lagi.