TKI di Hong Kong Diperlakukan Seperti Budak

By , Senin, 25 November 2013 | 15:39 WIB

Lembaga Amnesty International pada Kamis (21/11) mengecam kondisi-kondisi “seperti perbudakan” yang dihadapi oleh ribuan perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong sebagai pekerja domestik, dan mengatakan pihak berwenang tidak memiliki alasan untuk tidak bertindak 

Laporan lembaga tersebut yang berjudul “Dieksploitasi untuk Keuntungan, Dikecewakan Pemerintah,” diluncurkan hanya beberapa minggu setelah sepasang warga Hong Kong dipenjara akibat serangan mengejutkan terhadap pembantu rumah tangga mereka, termasuk membakarnya dengan setrikaan dan memukulnya dengan rantai sepeda.

Amnesty menemukan bahwa para warga Indonesia dieksploitasi oleh agen-agen perekrutan dan penempatan yang menyita dokumen mereka dan meminta bayaran tinggi, dengan janji-janji palsu mengenai gaji tinggi dan kondisi bekerja yang baik.

“Dari mulai perempuan-perempuan itu diperdayai untuk bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi dengan kasus-kasus yang merupakan perbudakan era modern,” ujar Norma Kang Muico, peneliti hak-hak migran Asia Pasifik pada Amnesty.

Laporan itu menuduh pihak berwenang di Indonesia dan Hong Kong tidak bertindak meski tidak memiliki alasan untuk itu.

“Pihak-pihak berwenang dapat mengacu pada aturan-aturan nasional yang seharusnya melindungi perempuan-perempuan itu, namun aturan-aturan tersebut jarang ditegakkan,” ujar Muico.

Tempat bagi hampir 300.000 pembantu rumah tangga migran, terutama Indonesia dan Filipina, Hong Kong terus mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia karena perlakuan buruk terhadap para pekerja domestik itu.

Laporan Amnesty mengatakan bahwa dua pertiga dari mereka yang diwawancara telah mengalami pelecehan fisik atau mental.

“Sang istri menyiksa saya secara fisik secara rutin. Suatu waktu ia menyuruh dua anjing untuk menggigit saya,” ujar seorang perempuan usia 26 tahun dari Jakarta.

“Saya memiliki 10 gigitan di tubuh, yang merusak kulit dan membuat perdarahan. Ia merekamnya dalam ponselnya, dan sering diputar sambil tertawa-tawa. Ketika salah satu anjing itu muntah, saya dipaksa makan muntahannya itu tapi saya menolak.”

“Ketika saya memintanya untuk berhenti menyiksa saya, ia mengatakan bahwa ia melakukannya karena bosan, jadi penyiksaan terhadap saya adalah caranya melewatkan waktu.”

Perempuan lain mengatakan seorang majikan laki-laki “menampar dan meninjunya” sampai sekujur tubuhnya biru-biru.”

Sepertiga dari mereka yang diwawancara tidak diperbolehkan meninggalkan rumah majikan dan banyak yang menghadapi kekerasan fisik dan seksual, kurang makan, bekerja berlebihan--17 jam merupakan waktu kerja rata-rata di antara para responden--dan upah rendah.

Badan-badan perekrutan yang memiliki izin dari pemerintah di Indonesia “secara rutin menipu perempuan mengenai gaji dan bayaran, menyita dokumen identitas dan barang milik lain sebagai jaminan, dan menarik bayaran lebih dari yang ditetapkan undang-undang,” ujar Amnesty.

Para pekerja domestik secara hukum wajib tinggal bersama para majikan mereka dan “diawasi secara ketat oleh agen penempatan lokal dan seringkali oleh para majikan,” menurut laporan tersebut.

Mereka takut bicara, khawatir kontrak mereka diakhiri. Jika itu terjadi maka mereka harus pergi dalam dua minggu, atau agen akan meminta bayaran lagi.

Seorang pejabat senior urusan tenaga kerja di Indonesia mengatakan aturan-aturan baru telah diperkenalkan pada April yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran di Hong Kong.

Namun kelompok Human Rights Working Group (HRWG), sebuah koalisi LSM di Indonesia, mengatakan para pekerja migran menghadapi banyak masalah.

“Skala masalahnya sangat besar. Kapasitas yang ada rendah dalam mengurus jutaan pekerja di luar negeri, dengan ratusan dan ribuan persoalan,” ujar direktur eksekutif HRWG Rafendi Djamin.

Eman Villanueva, juru bicara Badan Koordinasi Migran Asia di Hongkong, mengatakan pada kantor berita AFP: “Pemerintah Hong Kong...menciptakan pesan bahwa para pekerja domestik asing tidak termasuk dalam masyarakat Hong Kong dan bahwa kami adalah barang yang dengan mudah digantikan.”

Amnesty mengatakan temuan-temuan itu didasarkan pada wawancara-wawancara dengan 97 pekerja domstik migran dan didukung oleh survei terhadap hampir 1.000 perempuan oleh Serikat Pekerja Migran Indonesia.

Departemen-departemen tenaga kerja dan imigrasi Hong Kong mengatakan mereka tidak dapat memberikan komentar segera.