Upaya Pelestarian Kawasan Wallacea

By , Senin, 25 November 2013 | 19:21 WIB
()

Kawasan Wallacea yang membentang di jantung Nusantara dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Wilayah yang mencakup kawasan Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara ini sebagai zona transisi yang terkurung oleh laut dalam, terpisah dari Asia ataupun Australia.

Berdiri sejak 2000, CEPF merupakan organisasi global yang mendukung masyarakat sipil dalam melestarikan ekosistem penting yang terancam. Berdasarkan kajian Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), Wallacea menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia.

“Hal itu dimulai dengan analisis Conservation International, yang pada tahun 2000 menentukan kriteria apakah sebuah wilayah masuk hotspot keanekaragaman hayati atau tidak,” jelas Pete Wood, ketua tim Studi Profil Ekosistem Wallacea.

Di seluruh dunia tak kurang ada 35 hotspot keragaman hayati yang sekaligus juga terancam keberadaannya. “Salah satu patokannya, kawasan itu telah kehilangan 30 persen habitat aslinya,” lanjut Pete saat di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Sepasang julang sulawesi dewasa. Masa bersarang dan mengerami telur biasanya dimulai pada pertengahan tahun hingga memasuki musim penghujan. Kisah lengkang julang, rangkong, dan fungsinya bagi hutan bisa Anda simak di NGI Agustus 2013. (Reynold Sumayku)

Pete melakukan studi dengan berbekal keberadaan jenis-jenis yang terancam punah. Salah satu tujuan pokok program CEPF ini untuk menghindari kepunahan berbagai spesies penting. “Otomatis, agar kita tahu di mana tempat paling mendesak dan paling terancam adalah mengetahui jenis-jenis yang di ambang kepunahan,” tegasnya. “sehingga, kita beranjak dari data-data jenis yang terancam punah.”

Daftar itu mengacu kriteria IUCN (persatuan konservasi dunia) yang menyusun Daftar Merah (Redlist) spesies dengan berbagai kategori: kritis, rentan, dan terancam punah. Dari analisis itu, terdapat 558 spesies yang terancam punah, yang sebagian ada di Wallacea. “Sebagian yang lain ada di luar cakupan Wallace, tapi juga kita perhatikan.”

Tahap kedua adalah menyusun lokasi-lokasi di mana spesies yang terancam itu berada. Selama ini banyak data yang menyebutkan suatu jenis terancam punah hanya berada di suatu lokasi secara umum. Pete menuturkan tapi kalau ingin menyelamatkan spesies yang terancam punah, informasi itu tidak cukup. “Kita harus tahu persis suatu spesies berada di kawasan mana, di sungai mana, atau di gunung mana.”

Lantaran itulah, Pete mengindentifikasi lokasi-lokasi penting itu, yang kemudian menjadi daerah penting bagi keanekaragaman hayati (key biodiversity area/KBA) Wallacea. “Jadi, pada dasarnya KBA adalah kawasan yang memiliki sedikitnya satu populasi spesies yang terancam punah,” terangnya.

Hasilnya ada sekitar 393 kawasan penting bagi keanekaragaman hayati di wilayah ini. “Ada 251 lokasi di daratan dan di perairan 68 kawasan. Tapi ada tambahan 74 lokasi. Walaupun tidak ada catatan jenis terancam punah di situ, tambahan itu karena memiliki ekosistem laut yang penting dan masih bagus.”

Di Laut Banda misalnya terdapat 35 lokasi KBA, seluas 5,16 juta hektare. Sementara itu, di Halmahera ada 14 lokasi, seluas 471,2 ribu hektare; kawasan Sunda Kecil 56 lokasi, seluas 214,3 ribu hektare, dan Selat Makassar 20 lokasi, seluas 1,6 juta hekater dan Teluk Tomini, 8 lokasi, seluas 447 ribu hekater. Untuk kawasan KBA di daratan meliputi luas 8,7 juta hektare atau 25 persen wilayah Wallacea.

Sebagian lokasi penting itu sudah tercakup di kawasan perlindungan dan sebagian yang lain tanpa perlindungan. Keadaannya setiap lokasi berbeda-beda. Pete yang bekerja di Burung Indonesia ini menegaskan bahwa saat ini sudah mulai melakukan analisis ancaman.