Ular Ber-radioaktif Bantu Ilmuwan Melacak Dampak Bencana Fukushima

By Agnes Angelros Nevio, Selasa, 31 Agustus 2021 | 18:00 WIB
Elaphe climacophora, ular tikus Jepang. Ilmuan mengembangkan studi tentang ular tikus jepang yang mampu melacak kontaminasi radioaktif di daerah Fukushima. (snakesnadders.tripod.com)

 

Nationalgeographic.co.id-Ilmuwan Mendapatkan Informasi baru bahwa ular yang tinggal di zona pengasingan Fukushima dapat digunakan untuk melacak kontaminasi radioaktif di daerah tersebut.

sepuluh tahun setelah salah satu bencana antropogenik terbesar dalam sejarah, sebuah studi baru menjelaskan bagaimana cara para ilmuwan mengakumulasi radionuklida menggunakan ular tikus jepang atau yang dikenal juga dengan sebutan Elaphe climacophora dan E. quadrivirgata dengan cara memetakan berbagai tingkat radioaktivitas lingkungan sekitar Fukushima.

"Ular adalah indikator pencemaran lingkungan yang baik karena mereka menghabiskan banyak waktu di dalam dan di bawah tanah," kata ahli ekologi James Beasley dari University of Georgia, yang dilansir dari Science Alert. "Mereka memiliki wilayah jelajah yang cukup kecil dan merupakan predator utama di sebagian besar ekosistem, dan mereka seringkali merupakan spesies yang berumur panjang," lanjutnya.

Ular-ular tersebut memiliki jarak tempuh yang pendek, rata-rata bepergian hanya 65 meter (213 kaki) per hari. Sebuah studi yang dilakukan sebelumnya oleh tim juga menemukan bahwa tingkat radiocesium yang ditemukan pada ular di Fukushima berkorelasi erat dengan tingkat kontaminasi radioaktif yang ditemukan di lingkungan mereka. Ini berarti bahwa pelacakan dan pembelajaran tentang ular tersebut harusnya bisa mengungkapkan tingkat radioaktivitas lingkungan disana.

Tingkat pencemaran lingkungan dapat bervariasi berdasarkan jenis medan dan karakteristik lanskap, seperti bawah tanah. Tidak hanya sifat “tidak suka keluar” mereka yang menghubungkan ular dengan suatu lingkungan, paparan radiasi mereka dapat membantu untuk lebih memahami efek radiasi pada lingkungan tertentu, dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi satwa liar lainnya.

Dipimpin oleh ahli ekologi Hannah Gerke dari University of Georgia, penelitian tim melibatkan penangkapan dan penandaan GPS kepada sembilan ular dengan pemancar frekuensi sangat tinggi (VHF) yang bahkan dapat mengungkapkan apakah ular itu ada di tanah atau di pohon.

Baca Juga: Studi Terbaru Membuktikan Ular Derik Mampu Hasilkan Ilusi Pendengaran

Elaphe climacophora, ilustrasi Kawahara Keiga, 1823–1829. (Naturalis Biodiversity Center/Wikimedia)

Kesembilan ular tersebut dilacak selama sebulan penuh saat mereka bergerak di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka di Dataran Tinggi Abukuma, sekitar 24 kilometer barat laut dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.

Secara keseluruhan, pelacakan menunjukkan sekiranya ada 1.717 lokasi ular. Pada umumnya, ular menghabiskan waktu mereka di pohon, padang rumput, dan di pinggir jalan dekat sungai. Mereka juga menghabiskan waktu di hutan mati dan bangunan terbengkalai, terutama lumbung yang terbengkalai, dan lebih suka tinggal di dekat jalan—hanya satu contoh yang tercatat tentang ular yang bepergian lebih dari 250 meter dari jalan.

Di sisi lain, ular cenderung menghindari dan tidak memasuki hutan hijau dan memilih untuk tetap berada di tempat tempat diatas.

Baca Juga: 'Lem Super' dari Bisa Ular Ini Dapat Menutup Luka Hanya dalam 45 Detik

Ular tikus Jepang (Elaphe climacophora) adalah ular colubrid berukuran sedang yang ditemukan di hampirseluruh kepulauan Jepang. Ular tidak berbisa ini dalam bahasa Jepang dikenal sebagai aodaisho atau 'jenderal biru'. (Wikimedia)

“Seperti yang sudah kami pikirkan, kami menemukan pemilihan habitat ular tikus sedikit berbeda di seluruh skala spasial, tetapi ular secara konsisten menghindari hutan berdaun lebar dan hutan konifer yang selalu hijau saat memilih area yang dekat dengan sungai,” tulis para peneliti dalam makalah mereka.

"Ular cenderung tetap berada di tempat yang sama selama beberapa hari, membuat pergerakanyang rata-rata relatif kecil dan wilayah jelajah. Secara kolektif, data ini memberikan informasi berharga tentang tingkat pergerakan ular, perilaku, dan pemilihan habitat dalam lanskap yang terkontaminasi yang bisa memberikan perkiraan masa depan tentang paparan radiasi eksternal di Zona Eksklusi Fukushima dengan baik.

Pelacakan berlangsung selama musim panas, antara Juni dan Agustus, di mana ular paling aktif. Selama musim dingin, ular tikus Jepang berhibernasi, yang juga dapat mempengaruhi paparan radiasi mereka, terutama jika mereka bersembunyi di bawah tanah, tulis para peneliti.

Selain itu, mengingat karakteristik lingkungan yang berbeda dari habitat yang dipilih oleh ular yaitu jenis penutup tanah yang berbeda, serta waktu yang dihabiskan di pohon. mungkin ada variasi yang cukup besar dalam paparan radiasi, bahkan dalam sekelompok ular yang hidup di tempat yang sama atau daerah umum.

Baca Juga: 'Tongkat' Ular Berusia 4.400 Tahun Ditemukan, Diduga Milik Dukun Kuno