Melalui Satwa, Manusia Bisa Berkaca...

By , Minggu, 15 Desember 2013 | 12:10 WIB

Mengedukasi pengunjung merupakan tugas berat pengelola kebun binatang. Di TM Ragunan, misalnya, pengunjung dengan bebas melemparkan makanan kepada orangutan. Ada yang melempar kacang, ada yang melempar makanan ringan. Sementara bungkusnya dibuang di dekat kandang.

Teguh (35), warga Jakarta yang tinggal di Pasar Minggu, memandangi empat orangutan yang gelisah di kandangnya. Ia segera membuka tasnya dan mengeluarkan bungkusan berisi kacang garing. Segenggam kacang ia lemparkan ke arah kandang, dan para orangutan itu langsung menyambutnya. Kacang langsung dimasukkan ke mulut dalam gerakan cepat.

”Mungkin dia lapar, ya, makanya gelisah. Nggak dilarang, kan, memberi makan hewan? Saya lihat banyak orang juga kasih makan,” ujar Teguh.Mengelola stres

Seperti juga manusia, binatang sangat sensitif terhadap stimulasi lingkungan. Tak sedikit binatang yang butuh waktu cukup untuk beradaptasi, seperti walabi atau kanguru papua. Ketika kami berkunjung ke kandangnya pekan lalu, hanya satu ekor yang terlihat. ”Yang satu lagi masih bersembunyi di rumpun bambu. Masih stres. Sampai tiga hari lalu, dua-duanya bersembunyi, tidak mau keluar,” kata Isep Ferdiana, petugas TM Ragunan.

Menurut Kepala Pusat Kesehatan Hewan TM Ragunan Bambang Triana, walabi sangat mudah stres. Dari 14 ekor walabi yang mati beberapa waktu lalu karena diserang anjing liar, pada dua di antaranya tidak ditemukan luka apa pun di tubuhnya. Tetapi, sewaktu diotopsi, ditemukan paru-parunya pecah.

”Saat stres, hewan itu berlarian ke sana kemari sehingga badannya terbentur benda keras atau bahkan membentur-benturkan badannya. Akhirnya, organ dalamnya rusak. Penyebab stres macam-macam, termasuk pengunjung yang melimpah ruah,” ucap Bambang sambil menambahkan, di akhir pekan kunjungan ke TM Ragunan bisa mencapai 60.000 orang per hari, bahkan berlipat jadi 100.000 orang di saat hari libur atau Lebaran.

Mengendalikan stres pada binatang kini menjadi urusan serius manajemen kebun binatang. Manajemen KB Gembira Loka sejak 2005 menghentikan acara hiburan musik dangdut di dalam kebun binatang. Padahal, dangdut menjadi salah satu magnet penyedot pengunjung.

Alasannya, pementasan dangdut ataupun musik yang ingar-bingar dinilai mengganggu satwa-satwa yang semestinya hidup seperti di habitat aslinya. ”Pementasan dangdut kami hentikan karena membuat binatang tak nyaman. Lagi pula kami harus lebih percaya diri pada daya tarik kebun binatang ini,” kata Direktur Utama KB Gembira Loka KMT A Tirtodiprojo. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir, kunjungan ke Gembira Loka melonjak drastis. Tahun ini saja pengunjung diperkirakan mencapai 1,6 juta orang.

Langkah serupa mulai diberlakukan di TM Ragunan. Kepala Badan Layanan Umum Daerah TM Ragunan Marsawitri Gumay mengakui, banyak hal harus dibenahi, termasuk membenahi ratusan pedagang asongan yang berjualan di dalam lokasi dan aneka kegiatan yang biasa diselenggarakan di situ.

”Sekarang kalau ada pertunjukan musik tidak boleh setel musik keras-keras karena hewan-hewan kami bisa stres. Orang yang piknik juga kami batasi areanya. Area dekat hewan tidak diperbolehkan untuk piknik,” kata Marsawitri.

Para petugas di TM Ragunan pun dilatih untuk mengetahui perilaku binatang yang sedang stres. Saat kami mengunjungi kandang tidur orangutan, Ratna, si orangutan, langsung menyembunyikan bayinya, Dea, yang baru lahir sebulan lalu, di bawah lengannya. Suratna, petugas kebun binatang, kemudian mengajak bicara Ratna dengan lembut. Perlahan-lahan, Ratna memperlihatkan bayinya dengan penuh kasih sayang. Tak putusnya, bayi itu dipeluk dan dijilatinya.

Menurut pakar psikologi lingkungan Deddy Kurniawan Halim, PhD, koneksi afektif manusia-satwa sangat membantu konservasi. ”Kehadiran kebun binatang di tengah kota mampu memfasilitasi dan melatih kepekaan warga akan kelangsungan perikehidupan,” katanya.

Kebun binatang, lanjut Deddy, merupakan bentuk lanjut dari ruang publik yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis warga. ”Hanya di dalam kebun binatang, ketiga jenis makhluk hidup, manusia, tumbuhan, dan hewan, dapat bertemu dan menciptakan keutuhan ekosistem. Keutuhan ekosistem ini bersifat inheren dalam alam bawah sadar manusia dan menjadi sebuah kerinduan yang menjadi kebutuhan dasar manusia,” lanjutnya. Alhasil, kebun binatang adalah oase untuk kota besar. Kelestariannya menjadi cermin keadaban masyarakatnya.