Jika ada yang merasa bahwa cheetah sangat berbeda, itu karena memang demikian adanya.
Tidak seperti singa dan macan tutul—yang cakarnya dapat ditarik penuh, dipakai untuk merobek daging dan memanjati pohon—cakar cheetah seperti paku pada sepatu lari. Fungsinya pun serupa: untuk jejak yang mantap dan akselerasi cepat.
Semua yang dimiliki hewan bernama genus Acinonyx itu dirancang untuk kecepatan. Memang hampir semua anatomi cheetah berkontribusi pada reputasinya yang tak terbantah sebagai satwa darat tercepat.
Jika cheetah diadu dengan Lamborghini di jalan bebas hambatan, keduanya berpeluang sama untuk lebih dahulu menembus batas kecepatan. Dari keadaan diam, keduanya dapat mencapai 100 km/jam dalam waktu kurang dari tiga detik, namun cheetah dapat mencapai 70 km/jam dalam beberapa langkah pertama.
Dan langkahnya pun luar biasa. Berkat tulang belakang yang lentur dan panjang, serta kaki nan gesit, cheetah bisa melesat melebihi 7,5 meter sekali lompatan.
Jika satu kali saja seorang atlet mampu melompat sejauh itu setelah berlari kencang, dijamin lolos ke Olimpiade. Sementara cheetah, pada kecepatan puncaknya, dapat melakukan lompatan seperti itu hingga empat kali per detik.
Saat berburu, pelari pamungkas ini mencapai kecepatan bahkan lebih dari 100 km/jam dalam tiga detik. Tulang, otot, dan organ utamanya bekerja sama menghasilkan simfoni akselerasi.
Otot kaki bagian atas menempel ke tulang belikat sedemikian rupa sehingga memperpanjang langkah. Ototlah, bukan tulang selangka, yang menghubungkan tulang belikat sehingga menambah kelenturan. Cakarnya yang tidak bisa ditarik penuh menambah daya tolak.
Jika mangsa yang dikejar berubah arah, cheetah dapat berbelok sama cepatnya. Sebab ia dibantu oleh ekornya yang berfungsi sebagaimana kemudi, untuk keseimbangan dan kontrol.
Di samping itu, pada kaki depan dan belakang cheetah, tulangnya yang panjang dan ramping memperpanjang langkah tetapi juga dapat menahan impak kecepatan tinggi.
Paru-paru dan jantung yang besar membuat cheetah menyerap dan mengalirkan oksigen dalam jumlah besar yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan puncak.
Cheetah dahulu berkeliaran di sebagian besar Afrika dan Asia, tetapi meluasnya pertanian, peternakan, dan permukiman mengurangi habitatnya sebesar lebih dari 90 persen sejak 1900.
Beranjak ke masa kini, penyelamatan cheetah Asia bukan hal yang gampang. Kehancurannya dimulai sejak zaman kejayaan Kesultanan Mughal, ketika berburu dengan mengerahkan cheetah menjadi populer. Seorang sultan Mughal bahkan kabarnya mengumpulkan lebih dari 9.000 cheetah selama 49 tahun masa kekuasaannya.
Bandingkan zaman itu dengan zaman sekarang. Setelah sepuluh tahun memasang sejumlah kamera, peneliti Iran sejauh ini hanya berhasil mendapatkan 192 gambar sekilas.
Gambar-gambar itu memperlihatkan 76 ekor cheetah kurus. Dapat dikatakan inilah sisa subspesies agung yang dulu berkeliaran di sebagian besar Asia. Mereka yang masih bertahan sampai saat ini harus berjuang keras untuk hidup.
Satwa yang memburu antelop dan kambing gunung di lereng curam dan berbatu ini harus bersaing dengan serigala, dan juga manusia, yang menjadikan rusa serta kambing sebagai sumber makanan.
(*) Kisah lengkapnya pernah dimuat di NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA Edisi Februari 2013.