Dari Banyuwangi, "Isun Gandrung, Gandrungono Isun"

By , Selasa, 17 Desember 2013 | 11:12 WIB

Hati Temu Misti (60) dan Suparmiati (63), bukan cuma bahagia, melainkan juga bangga. Selain masih bisa menari Paju Gandrung Sewu secara kolosal di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, mereka juga melihat anak-anak muda penerus seni gandrung.

Siapa tahu ada di antara mereka ada yang mau menekuni gandrung sebagai pilihan hidup berkesenian dan bukan sekadar ikut menari,” demikian harapan Temu dan Suparmiati, baru-baru ini.

Temu, Suparmiati, juga Supinah (55) merupakan penari gaek tari gandrung yang setia dengan budaya lokal masyarakat Banyuwangi. Mereka ikut meramaikan Paju Gandrung Sewu, di antara 1.053 pasang laki-laki dan perempuan, yang tampil di Banyuwangi Festival untuk mempromosikan Banyuwangi.

Penari yang ikut, total 2.106 orang, belum termasuk penabuh gamelan dan pesinden, terdiri atas penari gandrung berusia 9-70 tahun. Mereka berasal dari SD hingga perguruan tinggi.

Saat selendang dikembangkan 1.053 pasangan penari gandrung itu, mereka ibarat ribuan bidadari yang terbang mengepakkan sayapnya. Liukan gerakan kepala, badan, pinggul, dan gerak kaki yang lincah dan energik dipadu senyuman manis menghipnotis ribuan penonton saat menyaksikan Paju Gandrung Sewu, laki-laki yang mengiringi perempuan menari.

Alunan musik khas Banyuwangi dengan lagu ”Kembang Waru” dan ”Embat-embat” yang mengentak bercampur aroma dupa dan kemenyan terbakar menciptakan atmosfer magis yang kuat. Sorot mata dan senyuman para gandrung sungguh memesona.

Tak lama kemudian para paju (penari pria pengiring) menyerbu lapangan di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka seolah menjemput masing-masing bidadari dan larut dalam tarian sukacita. Kemudian, 2.106 orang penari larut dalam tarian serempak dan tak mau kalah dengan riak ombak Selat Bali, yang berlari, berkejaran. Tarian itu pun berakhir dengan membentuk formasi tulisan I ♥ BWI yang menjadi spirit masyarakat ”Aku Cinta Banyuwangi”.

Tarian kolosal yang melibatkan siswa SD, SMP, SMA, mahasiswa, dan penari gandrung profesional, bangga ikut ambil bagian di acara akbar tersebut. Sebagian siswa yang berasal dari kecamatan di pinggir Banyuwangi rela menginap di sejumlah sekolah dengan membawa bantal dan tikar sendiri.

Sebagian berdandan dan bersiap-siap sejak pukul 05.00. Hebatnya, satu sama lain saling membantu merias dan memasangkan busana tari dan "omprok" (semacam mahkota untuk penari gandrung). Kelelahan mereka terbayar saat mereka bisa menampilkan tarian yang memukau di hadapan ribuan orang.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menilai kolosalitas Paju Gandrung Sewu menunjukkan budaya lokal yang semakin digandrungi, berkembang, dan sekaligus menjadi aset wisata yang potensial untuk daerah Banyuwangi.

Tarian kolosal itu juga jadi wahana ekspresi agar generasi muda bisa turut merasakan kebanggaan dan menjaga budaya lokal warisan masa yang lalu.

Asal-usul gandrung

Gandrung berasal dari kata gandrung, yang dalam bahasa Banyuwangi berarti 'tergila-gila'. Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat ada tayub atau di Jawa Barat ada ketuk tilu, di ujung timur Pulau Jawa ada seni gandrung.