Hutan buat orang Minahasa benar-benar menjadi sumber protein yang penting. Tengoklah Desa Elusan, Minahasa Selatan, yang dikepung kebun dan hutan lebat. Suatu sore yang basah, Alex Tambayong (43) ditemani tiga anjing pemburu masuk ke dalam hutan dekat rumahnya untuk mencari tikus.
Perburuan dimulai Alex dengan menggali tanah di bawah sebuah pohon. Tiga anjingnya dengan lincah membantu penggalian. Di lubang pertama dan kedua, tak satu tikus pun didapat. Di lubang ketiga barulah Alex mendapatkan tikus.
”Awas, so dekat,” teriak Alex memecah kesunyian hutan. Kurang dari satu jam, dua tikus sepanjang 20-an sentimeter tertangkap dan siap diolah menjadi woku atau rica.
Hukum Tua (Kepala Desa) Elusan, Frans Ampow, mengatakan, kecuali beras, sebagian besar bahan makanan mulai dari bumbu, sayur, hingga daging yang disantap warganya diambil dari kebun atau hutan yang jaraknya hanya sepelemparan batu. ”Kalau mau bikin pesta, warga masuk hutan untuk berburu babi, paniki, tikus, ayam hutan, dan soa-soa. Kekurangannya baru kami beli di pasar,” ujarnya.
Dengan bangga, Frans mengatakan, desanya yang dihuni lebih dari 300 keluarga telah melahirkan seorang anggota parlemen dan tiga doktor. Meski begitu, tradisi makan hewan buruan masih tetap kuat.
Mengapa tradisi bushmeat yang usianya sezaman dengan manusia modern pertama itu tetap bertahan di Minahasa? Nasrun Sandiah, dosen antropologi Universitas Sam Ratulangi, menjelaskan, kontrol terhadap makanan di Minahasa sangat longgar. ”Orang bisa makan hewan apa saja karena tidak ada larangan,” ujarnya.
Tradisi itu makin kuat lantaran menyajikan dan menyantap daging hewan liar dianggap bergengsi. ”Semakin langka daging yang disajikan, semakin dianggap bergengsi,” katanya.
Alam masih menyediakan hewan liar meski tidak semelimpah dulu. Nasrun yakin tradisi bushmeat di Minahasa akan berakhir ketika hewan di hutan dan kebun Sulawesi habis disantap.