Genesis Danau Karst Ayamaru

By , Kamis, 19 Desember 2013 | 18:00 WIB
()

Tidak banyak orang yang mengenal Danau Ayamaru. Terlebih lokasinya yang tersembunyi di wilayah Kepala Burung Papua, atau lebih dikenal sebagai Semenanjung Vogelkop, sekitar 170 kilometer dari selatan Kota Sorong. Danau ini  berada di  hamparan karst (gamping atau kapur)  yang dikenal sebagai Plato Ayamaru di ketinggian 280–385 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Nama danau ini merupakan perpaduan dua kata aya (air) dan maru (danau). Nama yang sama juga disandang oleh kota terbesar di semenanjung ini—Ibu Kota Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat—sejak pemekaran wilayah ini dari Kabupaten Sorong Selatan pada 2009. Kota Ayamaru dapat ditempuh sekitar 7 jam dari Kota Sorong melalui perjalanan darat yang berliku dengan turunan serta tanjakan terjal. 

Suasana pagi di Kota Ayamaru, Sorong, Papua. (Foto: Lukman)

Kota Ayamaru telah berkembang sejak era kolonial Belanda. Salah satu buktinya, di sini tersedia sarana air bersih yang dikelola dengan baik. Menurut warga lokal, Bung Karno pernah mengunjungi Ayamaru dan menetap di sebuah rumah yang kemudian dijadikan cagar budaya. Warga yang sudah dewasa pun masih mengingat kejayaan danau ini sebagai salah satu gerbang masuk bagi sarana transportasi udara amfibi sejenis beaver.

Danau Ayamaru terdiri dari danau-danau mungil—Jow, Semitu, dan Yate—yang bersinambung membentuk kaskade di satu daerah aliran sungai (DAS) Ayamaru. Ketiga danau ini bertipe Paternoster lake atau dalam istilah limnologi merupakan rangkaian danau serupa tasbih di elevasi yang menurun secara bertahap. Limnologi yaitu ilmu yang mempelajari ekosistem perairan-perairan daratan.

Genesis Danau Ayamaru mengikuti pembentukan daratan Papua yang cukup kompleks dan didesain oleh aktivitas tumbukan  antara dua lempeng besar bumi, yaitu lempeng Pasifik di sebelah utara yang bergerak relatif ke arah barat dan lempeng Australia yang relatif bergerak ke utara. Aktivitas ini mendorong terjadinya pelipatan dan pengangkatan yang dikenal sebagai Orogenesa Melanesia pada zaman Miosen awal yang membentuk kawasan karst Ayamaru.  

Danau-danau ini bukanlah danau purba (ancient lake), karena yang termuda berumur sekitar 10.000 tahun (Holosen pertengahan). Danau ini berada di geomorfologi karst yang relatif masih alami dan dikelilingi bukit-bukit. Intinya, merupakan terumbu karang yang terangkatkan. Kawasan karst umumnya tidak mampu menahan limpahan air selama musim hujan secara langgeng, sehingga saat kemarau tiba hanya tersisa sedikit air.

Suatu kawasan karst akan memiliki sifat hidrologi bersifat khusus, mengikuti fungsi derajat kartifikasi, luas, kedalaman, dan kerumitan dari kawasan tersebut. Hidrologi karst, selain berkaitan dengan sungai di atas permukaan bumi, juga  sungai di bawah permukaan bumi dengan batas-batas yang tidak jelas. Kondisi karst inilah yang menciptakan sifat fisik Danau Ayamaru yang  mengalami periode pasang surut secara musiman.

Danau seluas 980 hektare ini memiliki kedalaman maksimum 6 meter. Hamparan perairan selagi musim hujan berubah menjadi kolam-kolam kecil dangkal saat kemarau. Hamparan daratan yang terbentuk di sebagian wilayah perairannya ditumbuhi flora semiakuatik. Kondisi ini mirip danau-danau paparan banjir (floodplain lakes) di Kalimantan yang mengalami fluktuasi muka air sejalan pola banjiran sungai-sungai yang mempengaruhinya.

Danau Ayamaru adalah habitat ikan-ikan cantik Papua, spesies Melanotaenia boosemani, M. ajamaruensis dan M. fasinensis, yang keberadaannya bersifat endemik dan sangat terbatas.  Ikan M. boosemani dikenal hingga mancanegara sebagai ikan Pelangi Irian atau Rainbow fish. Pada awal 1990-an, ikan-ikan ini dieksploitasi secara besar-besaran untuk komoditas ikan hias ekspor. Hingga saat ini, populasinya diindikasikan sudah sangat menurun.

Ada keistimewaan lain dari Danau Ayamaru mengingat lokasinya yang terbilang bertetangga dengan wilayah Australia: setiap periode musim kering danau ini menjadi tempat singgah burung-burung migran terutama dari Australia. Tercatat empat jenis burung migran yang singgah di danau ini, Ephippiorhynchus asiaticus, Himantopus leucocephalus, Platalea regia, Threskiornis aethiopicus.

Terdapat suatu kepentingan internasional seiring keberadaan burung-burung migran tersebut, terkait Konvensi Ramsar yang telah kita ratifikasi. Jelas perlu ditetapkan adanya perlindungan kawasan lahan basah sebagai habitat burung migran. Apalagi akhir-akhir ini keunikan danau karst Ayamaru semakin terusik oleh penyusutan perairan. Kekhawatiran juga dirasakan oleh warga lokal yang dahulu biasa mencuci, mandi, dan berenang  di tepian danau.

Belum diketahui secara pasti penyebab penyusutan perairan. Apakah ini suatu fenomena yang berlangsung secara periodik, atau apakah kawasan karst sudah menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan iklim global menyangkut daya tahan yang rendah untuk menyimpan air. Pada akhirnya, kita sebagai pengelola bumi ini dituntut untuk semakin  bijak membaca tanda-tanda alam dan saksama memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya.