Sejak tahun 1956 atau bertepatan dengan berdirinya Penerbangan Angkatan Laut (Penerbal), kiprah para pilot tempur Penerbal telah mewarnai heroisme sejumlah pertempuran di Tanah Air. Tidak hanya misi tempur, para pilot tersebut juga menunjukkan semangat kepahlawanan dalam misi non-perang.
Contohnya saat dalam misi pencarian dan penyelamatan (SAR). Kapten Antonius Suwarno, perwira belia yang terkenal mahir menerbangkan helikopter itu dikenal sebagai pahlawan ketika pesawat Twin Otter Merpati jatuh pada bulan Maret 1977 di Gunung Tinombala, Palu, Sulawesi Tengah.
Sebagai pilot heli, Kapten Anton yang kapabel khususnya dalam menerbangkan heli di ketinggian ekstrem itu pun selalu dikirim ke berbagai misi tempur. Ia mahir menerbangkan heli jenis Mi-4, Allouete II, dan Bo-105.
(Baca juga: Bathily dan Catalano, Warga Biasa yang Menjadi Pahlawan)
Pesawat Twin Otter yang membawa 18 orang dewasa dan 2 orang anak bertolak dari landasan udara (Lanud) di Palu menuju Toli-Toli. Pesawat kemudian dinyatakan mengalami kecelakaan karena kehabisan bahan bakar, dan Badan SAR Nasional (Basarnas) memerintahkan operasi pencarian dengan melibatkan semua unsur terkait: Paskhas, TNI AD, dan masyarakat (tenaga sukarelawan).
Namun setelah operasi pencarian dilakukan hingga hari kesembilan, pesawat yang jatuh ini belum ditemukan. Lantas penerbang asal AS dan Australia ikut membantu secara sukarela melakukan pencarian menggunakan heli Puma dan Alloute III.
Hingga selama tiga minggu, Tim SAR belum berhasil menemukan Twin Otter. Ketika Kapten Anton kembali ke Jakarta setelah bertugas di TImor Timur untuk Operasi Seroja, ia langsung diperintahkan oleh Direktur Pelita, Brigjen Haryono, untuk bergabung dalam operasi di wilayah Tinombala.
Keesokan harinya pada pukul 03.00 WIB, Anton berangkat ke Palu dari Lanud Halim menggunakan C-130 yang juga mengangkut heli Bo-105. Setiba di Palu, heli tersebut langsung dirakit dan setelah siap terbang Anton pun menyiapkan semua perangkat yang diperlukan.
Anton menelusuri rute penerbangan pesawat yang hilang. Karena rute di atas laut tidak lebar, ia menyimpulkan bahwa pesawat pasti lewat celah antara dua gunung, sehingga ada kemungkinan pesawat yang dicari itu menabrak salah satu gunung. Anton tak berhasil menemukan tanda yang mencurigakan pada satu gunung, ia memutuskan mengitari gunung kedua.
Di atas gunung pengalaman dan naluri terbangnya bekerja, Anton menemukan tanda, yaitu dahan-dahan patah dan dedaunan layu. Dari ketinggian melakukan pengamatan saksama, Anton juga melihat rongsokan pesawat serta orang-orang di sekitarnya. Mengira bahwa Tim SAR telah berhasil menemukan posisi pesawat, ia meneruskan terbang ke Toli-Toli. Tetapi ketika mendarat di sana, Anton mendapat informasi yang menyatakan pesawat yang hilang masih belum ditemukan.
(Baca juga: "Ijuk" Bak Pahlawan Emas di Indonesia)
Anton bermaksud mengajak Tim SAR kembali ke lokasi penemuannya. Tim SAR ternyata sedang sibuk rapat. Lalu Anton memutuskan untuk mengajak tiga anggota Paskhas: Kapten dr Sondakh, Koptu Dominikus, dan Kopda Sunardi. Mereka tiba dengan pesawat cukup bahan bakar dan sejumlah peralatan komunikasi. Anton memerintahkan Dominikus dan Sunardi turun menggunakan tali dan membawa peralatan komunikasi.
Tali yang digunakan ternyata kurang panjang, hanya bisa mencapai pepohonan tertinggi. Kejadian mirip dalam Operasi Trikora ketika Pasukan Gerak Tjepat diterjunkan di Papua dari udara, mereka banyak yang tersangkut pohon dan harus turun menggunakan tali. Pengalaman tempur ini lantas membekali para anggota Paskhas terlatih turun dari pepohonan ke darat dengan tali tambahan.
Tak ada pilihan lain bagi Anton kecuali memerintahkan dua personel Paskhas itu bertahan di atas pohon. Sedangkan ia sendiri terbang menuju Toli-Toli guna mencari bantuan.
Penerbangan berikut yang dilakukan Anton benar-benar membutuhkan konsentrasi tinggi dan keterampilan. Setelah mengirim bantuan dan logistik, peralatan untuk membuat helipad, serta barang lain yang diperlukan — tak berapa lama kemudian, Kapten Anton disibukkan bolak-balik mengangkut baik korban yang hidup maupun yang telah meninggal.
Usai menunaikan tugas penyelamatan, dalam upacara pemberian penghargaan ternyata hanya para anggota Paskhas yang disebut. Peran Anton yang datang belakangan terlupakan. Rekan-rekan satu angkatannya (AAL 1967) cukup kecewa atas itu. Namun sebagai prajurit pengabdi negara mereka apa yang dilaksanakan Anton adalah tugas mulia tanpa pamrih.
Antonius Suwarno yang terakhir berpangkat Kolonel meninggal dunia pada 2011, saat memberi seminar tentang penerbangan heli di Pondok Cabe-Tangerang Selatan, akibat serangan jantung.