Menebak Masa Depan "Orchard Road" versi Jakarta

By , Selasa, 7 Januari 2014 | 19:00 WIB

Nasib sabuk wisata dan belanja internasional di Jalan Dr Satrio, Jakarta Selatan, atau tenar dengan sebutan Satrio International Shopping and Tourism Belt pasca-beroperasinya Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang pada 30 Desember 2013 lalu semakin tidak jelas.

Hal tersebut diutarakan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, kepada Kompas.com, Senin (6/1). Menurutnya, ketidakjelasan tersebut dapat dilihat dari kondisi semrawut dan macet yang kian akut sehingga membuat orang enggan untuk mendatangi koridor ini sebagai tujuan wisata dan belanja.

"Padahal, esensi dan semangat dirancangnya Satrio International Shopping and Tourism Belt pada 1997 lalu adalah koridor wisata dan belanja yang dapat diakses dengan mudah oleh pembelanja. Selain itu, tersedianya ruang-ruang memadai, aman, nyaman, bersih bagi para pengunjung yang memungkinkan mereka berjalan kaki menuju pusat-pusat belanja, perkantoran, hotel, dan properti komersial lainnya di koridor ini," jelas Yayat.

Kehadiran JLNT tersebut, lanjut Yayat, adalah perubahan pada rencana induk yang justru terjadi belakangan. Ia menengarai, perubahan tersebut terkait proyek properti besar yang akan sulit terjual jika macet terus berlangsung.

"Makanya diambil jalan pintas berupa JLNT yang dimaksudkan untuk mengurai kemacetan. Padahal, nyatanya, seminggu setelah dibuka, JLNT segmen Kampung Melayu-Tanah Abang justru malah merelokasi kemacetan di masing-masing ujung JLNT tersebut," tandas Yayat.

Jadi, masih menurut Yayat, Orchard Road versi Jakarta ini masih jauh dari harapan untuk dapat diwujudkan. Selain itu, koridor ini sama sekali tidak memiliki persyaratan sebagai sabuk wisata dan belanja dengan embel-embel "internasional".

Kendati demikian, Ciputra Group, salah satu pengembang penggagas yang membangun superblok di koridor ini, tetap optimistis Orchard Road versi Jakarta bisa terbentuk.

"Membangun sebuah zona wisata dan belanja khusus tidak seperti membalikkan telapak tangan. Namun, kami yakin, koridor Satrio bisa seperti Orchard Road, minimal lima tahun dari sekarang, wujud itu bisa kita lihat dan rasakan," tandas Direktur Ciputra Group, Sugwantono Tanto.

Sugwantono bukannya tidak menyadari bahwa koridor Satrio masih memiliki banyak kekurangan. Terlebih kurangnya kerja sama dan kesadaran di antara pengembang dalam menciptakan bahasa yang sama bahwa sabuk wisata dan belanja harus terkoneksi satu sama lain. Mestinya, tak ada toleransi bagi upaya pembiaran praktik-praktik di luar urban design guide lines  (UDGL).

"Praktik di luar UDGL itu seperti pembangunan jalur pedestrian tidak sesuai yang ditetapkan. Harusnya 5 meter menjadi hanya 3 meter, misalnya," kata Sugwantono.

Tak bertema

Orchard Road versi Jakarta ini masih memiliki bolong di sana-sini. Pertama, tidak memiliki tema atau nilai jual khusus yang bisa diandalkan. Jika Mangga Dua terkenal sebagai konsentrasi barang berkualitas dengan harga miring, tidak demikian halnya dengan koridor Satrio.

"Barang apa yang dijual di sini, apakah barang impor kelas menengah, atas atau seperti apa. Kalau memang barang impor, apakah koridor Satrio ini hanya akan menjadi pasar bagi produk mancanegara tersebut," tanya Yayat.