“Tentu saja tidak semua makam dipindahkan,” ungkap Lilie, “untuk keluarga yang tidak mengurus, maka hanya batu-batu nisan yang diangkat.” Sebagian nisan-nisan VOC yang tidak memiliki ahli waris, menurut Lilie, kemudian disimpan dalam sebuah gudang. “Batu nisan François Tack termasuk batu yang disimpan di dalam gudang.”Batu-batu nisan itu umumnya berhias ukiran lambang-lambang heraldik nan elok dan prasasti yang berkisah soal sejarah sosial warga Batavia. Setelah beberapa dekade mendekam di gudang, Lilie berkisah, nisan-nisan itu ditemukan kembali oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—komunitas warga Batavia yang menaruh perhatian pada seni dan ilmu pengetahuan. Kemudian pada 1844, dibangun aula gerbang utama di permakaman Kebonjahe, dan sejumlah nisan yang tak bertuan tadi dipajang di dinding depannya.Permakaman Kebonjahe yang dahulu luasnya sekitar 5,5 hektare itu sejak 1977 diresmikan menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Luasnya pun mengkerut hingga 1,3 hektare saja. Nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn dan menantunya, François Tack, menghias sayap kanan pada dinding halaman depan museum tersebut.
Nisan mereka berukirkan aneka lambang heraldik nan indah—bintang segi enam, helm bersayap, baju zirah, perisai dengan simbol nafiri—yang membisikkan kisah sejarah nan megah.