Pulau Kemaro, Legenda Cinta di Bulan Purnama Cap Go Meh

By , Kamis, 30 Januari 2014 | 19:30 WIB
()

Alkisah, dua anak manusia berbeda etnis, Tan Bun An dan Siti Fatimah, jatuh cinta. Kisah mereka berakhir tragis di Sungai Musi, tetapi abadi dalam legenda Pulau Kemaro.

Kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah terukir di sebuah prasasti bertanda Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang yang berada di kompleks Kelenteng Hok Cing Bio di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan.

Diceritakan, Tan Bun An terjun ke Sungai Musi mengejar guci-guci berisi emas hadiah keluarganya di Tiongkok yang awalnya disangka hanya berisi sawi asin. Saat ia tak kembali, pengawalnya menyusul terjun, tetapi juga tak terlihat lagi. Dirundung resah, Fatimah, putri Palembang itu, menyusul kekasihnya terjun ke Sungai Musi dan tak pernah terlihat lagi.

Beberapa waktu kemudian, dari tempat sejoli itu terjun muncul pulau kecil yang tak tenggelam saat Musi pasang sekalipun. Warga kemudian menamakannya Pulau Kemaro (Kemarau) karena selalu jauh dari jangkauan pasang Musi. Inilah legenda asal mula pulau seluas sekitar 180 hektar itu.

Hingga kini, Kelenteng Hok Cing Bio di Pulau Kemaro menjadi salah satu tujuan wisata di Palembang. Tak hanya legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah yang menjadi daya tarik Pulau Kemaro, tetapi juga kelenteng tua Hok Cing Bio yang diyakini dibangun ratusan tahun lalu.

Sejak 2006, Pulau Kemaro semakin menawan dengan tambahan pagoda setinggi sembilan lantai. Dari Sungai Musi, bangunan berwarna merah ini terlihat anggun, menyembul di antara kompleks industri dan kapal-kapal yang berlabuh.

Jumat (24/1), suasana Pulau Kemaro terlihat lengang. Hanya satu-dua orang yang tampak menikmati es kelapa muda di bawah naungan pepohonan rimbun. Namun, di sana-sini mulai terlihat kesibukan beberapa pekerja memasang deretan lampion dan lampu serta membenahi bangunan kelenteng.

IRENE SARWINDANINGRUM/KOMPAS

Kelenteng yang dikelola Yayasan Toa Pekkong Pulau Kemaro itu tengah berhias menyambut Cap Go Meh yang tahun ini jatuh pada 13 Februari mendatang. Setiap tahun pada malam Cap Go Meh, yaitu malam perayaan bulan purnama pertama setelah Imlek, ratusan ribu orang memadati kompleks yang hanya seluas 6 hektar itu. Tahun 2013, sebanyak 500.000 pengunjung datang ke Pulau Kemaro.

Pada malam bulan purnama pertama setelah Imlek, kelengangan harian di Pulau Kemaro berganti dengan kemeriahan semalam suntuk. Sekitar 2.000 lampion dan lampu puluhan ribu watt menerangi seluruh kompleks kelenteng. Panggung-panggung pertunjukan kesenian Tionghoa menggelar pertunjukan semalam suntuk.

Di malam itu, berbagai kesenian tradisional Tionghoa dipentaskan, mulai dari wayang potehi, drama tradisional China, hingga musik. Beragam jenis jajanan dan barang kelontong digelar di 150 stan. Keramaian ini berlangsung semalam suntuk.

Juru kunci kelenteng, Bun Hao (47), mengatakan, kemeriahan Cap Go Meh merupakan tradisi yang telah berlangsung puluhan, bahkan mungkin sejak berdirinya kelenteng di Pulau Kemaro. Sebagian besar pengunjung datang untuk sembahyang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara hingga dari negeri-negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia, bahkan dari China.

Sebagian lagi adalah penduduk Palembang yang ingin menikmati kemeriahan setahun sekali tersebut. Sejak runtuhnya Orde Baru, kunjungan ke Hok Cing Bio di malam Cap Go Meh meningkat pesat. Perayaan Cap Go Meh pun menjadi lebih meriah. "Peningkatan pengunjung lebih dari dua kali lipat sejak Orde Baru," kata Bun Hao yang merupakan generasi kedua yang tinggal di Pulau Kemaro sebagai juru kunci.

Gratis

Pengelola Kelenteng Hok Cing Bio Pulau Kemaro tak pernah memungut biaya kepada pengunjung yang datang. Di sana juga terdapat 40 toilet permanen gratis untuk mengakomodasi kunjungan ratusan ribu orang.

Akses ke Pulau Kemaro menjadi lebih mudah beberapa hari menjelang Cap Go Meh dengan dipasangnya Jembatan Ponton dari Dermaga Kemaro. Dermaga ini tak jauh dari Kantor Polsek Kalidoni. Jembatan Ponton biasanya terpasang sekitar tiga hari sebelum puncak perayaan.

Namun, di hari biasa, Pulau Kemaro hanya dapat dicapai menggunakan perahu. Berbeda dengan Pulau Kemaro yang ramai pada Cap Go Meh, pusat keramaian perayaan Imlek di Palembang terdapat di Kelenteng Chandra Nadi yang juga berada di tepi Sungai Musi di kawasan 10 Ulu. Salah satu kelenteng tertua di Palembang itu dan jalan-jalan di sekitarnya akan dihiasi sekitar 1.500 lampion pada perayaan itu.

Kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah menguatkan sejarah bahwa Kota Palembang merupakan percampuran antara Melayu, Tionghoa, Arab, dan India. Masyarakat Tionghoa turut membentuk ibu kota Sumsel ini. Perayaan Imlek dan Cap Go Meh pun memberikan nuansa tersendiri di kota ini.