"Dalam arti, ideologi bukan berarti dia kiri atau kanan. Bagi dia, Munir itu bukan intelektual kok. Ndak punya buku dia, kalau sama saya diajak diskusi, duwur-duwur (tinggi-tinggi) begitu, enggak nyampe," kenang Deddy Prihambudi, kawan kuliah Munir dikutip dari dokumenter Watchdoc Documentary berjudul Kiri Hijau Kanan Merah tahun 2009.
"Artinya kita tidak baca buku tebal-tebal dulu, (lalu merasa) oh kita berpihak pada orang kecil, tidak usah."
Husein Anis, rekan Munir di HMI menambahkan, "bisa jadi Munir melakukan semacam menggabungkan dua pandangan itu--antara Socialism dan Islamism. Selama ini karena dia lingkungannya speerti itu, orang menganggap dia itu kiri, sosialis, antek Barat."
Meski demikian, mengutip dari Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih yang dipublikasikan KontraS, dia lebih memilih perspektif HAM untuk menciptakan kesetaraan, melalui dialog bagi masyarakat lintas gender, rasial, etnis, dan agama.
"Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivits-aktivis yang berbeda-beda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," ungkap KontraS.
Setelah lulus tahun 1989, Munir menjadi sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang. Dirinya turut aktif dalam mengajar dan mengadvokasi para buruh yang ditindas oleh pengusaha, termasuk mengadvokasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993 di Sidoarjo. Aktivitasnya itu mulai tercium dan dicari-cari oleh tentara.
Baca Juga: Bagaimana Cara Aktivis HAM Menyampaikan Kuburan Massal Tragedi 1965?
1996, Munir mulai bekerja di Yayasan Lembaga Hukum Indonesia di Jakarta (YLBHI), setelah sebelumnya sempat menjabat direktur di LBH Semarang selama tiga bulan. Kemudian tahun 1998, dia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Munir mendampingi 24 korban hilang dan keluarganya di masa peralihan pemerintahan Orde Baru ke Reformasi (1997-1998). 14 korban di antaranya belum ada kabar hingga saat ini. Bahkan Munir juga mengawal kasus pelanggaran HAM lainnya seperti Operasi Jaring Merah dan Operasi Terpadu di Aceh, serta tergabung dalam Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur (kini Timor Leste).
Menjelang Pilpres 2004, hiruk pikuk Indonesia sempat ramai atas para kandidat yang akan dipilih. Selain itu sedang ramai juga tentang RUU Pertahanan Negara dan RUU TNI, dan Munir sempat memberikan saran dan kritik.
Dia dengan pandangannya, memiliki gagasan agar tentara secara profesional memiliki struktur dan peralatan yang memadai, gaji dan penghidupan yang layak, serta dapat menghormati HAM untuk mewujudkan reformasi militer.
Ada banyak pasal-pasal bermasalah yang harus diubah untuk masalah ini. Tetapi pemerintahan periode 2004-2009 masih menerapkan beberapa pasal yang sudah ada sejak Orde Baru.