Ubasute, Praktik Membuang Orang Tua dalam Cerita Rakyat Jepang

By Utomo Priyambodo, Senin, 13 September 2021 | 20:00 WIB
Ilustrasi membawa orang tua ke tempat terpencil, diambil dari salah satu adegan dalam film The Ballad of Narayama. (Umbrella Entertainment)

Nationalgeographic.co.idUbasute adalah praktik kuno dari cerita rakyat Jepang di mana kerabat yang sakit atau sudah tua dibuang di tempat terpencil dan dbiarkan mati di sana. Meskipun ubasute dibuktikan ada dalam sejumlah legenda Jepang, tidak jelas apakah itu benar-benar praktik umum di masa lalu.

Ada bukti hari ini bahwa ubasute sedang "dihidupkan kembali" di Jepang modern, sebagaimana dilaporkan Ancient Origins. Namun praktik "kejam" tersebut "dihidupkan kembali" dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Secara bahasa, ubasute dikenal juga sebagai obasute dan memiliki arti "meninggalkan seorang wanita tua". Selain itu, ubasute dikenal juga sebagai oyasute, yang berarti "meninggalkan orang tua".

Ubasute adalah bentuk senisida (pembunuhan orang tua). Praktik ini dilakukan dengan meninggalkan orang tua di gunung atau tempat terpencil lainnya untuk mati.

Salah satu tempat yang diyakini sebagai situs populer untuk ubasute di masa lalu adalah hutan lebat di kaki barat laut Gunung Fuji. Tempat ini dikenal sebagai Aokigahara dan dikenal juga sebagai Jukai, yang berarti "Lautan Pohon".

Ubasute adalah subjek dari sejumlah legenda Jepang. Meskipun kisah-kisah ini tampaknya mengenai pengabaian orang tua, cerita-cerita ini sebenarnya dimaksudkan untuk menginspirasi kesalehan anak dan untuk mencegah orang-orang meninggalkan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Baca Juga: Shinigami, Dewa Kematian dalam Cerita Rakyat dan Budaya Pop Jepang

Dua sekawan berkimono berjalan menantang laut—dan yang seorang menantang matahari—di pantai Jepang. (National Geographic)

Salah satu kisah ubasute yang paling terkenal, misalnya, dikenal sebagai Ubasuteyama, yang berarti Gunung Ubasute. Dalam cerita rakyat ini, seorang ibu tua dibawa oleh putranya ke atas gunung, di mana ia berniat untuk meninggalkannya.

Meskipun sang ibu menyadari apa yang dilakukan putranya padanya, dia tetap peduli padanya dan menyebarkan ranting-ranting yang patah di tanah sehingga dia dapat menemukan jalan menuruni gunung. Kisah ini menyoroti cinta yang dimiliki seorang ibu untuk anak-anaknya, yang dengan sendirinya merupakan argumen tajam melawan ubasute.

Kisah lain, yang datang dari India (bersama dengan agama Buddha) melalui Tiongkok selama abad ke-6, berbicara tentang seorang raja yang membenci orang tua. Raja ini melembagakan semacam ubasute yang disetujui negara, di mana salah satu rakyatnya yang hidup melewati usia 70 tahun dikirim ke pengasingan. Salah satu menterinya sangat mencintai ibunya sehingga ketika ibunya berusia 70 tahun, dia menggali ruang bawah tanah rahasia di rumahnya dan menyembunyikannya di sana.

Baca Juga: Sokushinbutsu, Ritual Biksu Jepang Mengubah Dirinya Menjadi Mumi

Beberapa tahun kemudian, penguasa kerajaan tetangga mengirim dua kuda yang hampir identik kepada raja, dengan sebuah teka-teki yang memintanya untuk mengidentifikasi induk dan keturunannya. Jika raja gagal menjawab teka-teki ini, kerajaannya akan diserang. Raja kemudian meminta nasihat menterinya yang berjanji bahwa dia akan menemukan solusi untuk teka-teki itu.

Meskipun sang menteri tidak dapat menjawab pertanyaan itu sendiri, dia mengenal seseorang yang mungkin dapat menjawabnya. Dia pergi ke ibunya yang telah hidup begitu lama dan mungkin pernah mendengar teka-teki seperti itu.

Wanita tua itu pernah mendengar teka-teki ini sebelumnya dan menyuruh putranya meletakkan rumput di depan mereka. Kuda yang mundur dan membiarkan yang lain makan, katanya, adalah induknya.

Lebih banyak teka-teki kemudian datang kepada sang raja dan setiap kali itu pulau sang menteri meminta nasihat ibunya untuk mendapakan jawabannya. Akhirnya, penguasa tetangga membatalkan rencananya untuk menyerang dan menjadi sekutu raja.

Baca Juga: Kisah Yoshiko Kajimoto, Penyintas Bom Atom Hiroshima, Jepang

Terkesan oleh menterinya, raja memanggilnya untuk mencari tahu bagaimana dia tahu semua jawaban. Menteri mengakui semua yang telah dia lakukan. Namun, alih-alih marah, raja melihat kesalahan jalannya, mencabut dekritnya terhadap orang tua, dan menghormati mereka dengan pantas.

Praktik ubasute sebagian besar terbatas pada ranah cerita rakyat, karena tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan bahwa itu dilakukan secara luas di masa lalu. Namun demikian, kisah-kisah ini telah mengilhami tindakan ubasute modern, karena ada laporan bahwa praktik ini sedang "dihidupkan kembali" di Jepang.

Pada  2015, misalnya, dilaporkan bahwa seorang pria berusia 63 tahun dituduh meninggalkan kakak perempuannya yang cacat di lereng gunung untuk meninggal pada tahun 2011. Dalam laporan lain, dari tahun 2018, seorang wanita ditangkap karena meninggalkan ayahnya yang sudah lanjut usia di sebuah stasiun layanan jalan raya.

Selain itu, didorong oleh kemiskinan, semakin banyak orang di Jepang mengirim keluarga mereka yang sudah lansia ke rumah sakit dan kantor amal agar dapat diadopsi. Karena jumlah lansia di Jepang terus meningkat, sementara tingkat kesuburan di sana menurun dan pertumbuhan ekonominya melambat, kemungkinan besar praktik ini akan menjadi lebih umum ditemukan di masa depan.

Baca Juga: Batu-Batu Monumen Tsunami Ratusan Tahun Selamatkan Banyak Orang Jepang